Skip to main content

berhenti berharap




Keseharianku sekarang aku habiskan dengan bersih-bersih rumah. Menyapu, mengepel, mencuci piring, semuanya secara natural aku lakukan setelah aku bangun tidur. Tidak ada yang meminta, apalagi ada paksaan. Aku mulai menyukai meminum hot chocolate –––tentu saja buatan sendiri, membuat kue dan mulai membiasakan diri untuk membaca kembali. Pernah pula aku membuat kue dan membersihkan dapur tengah malam ketika sedang tidak bisa tidur, yang membuat ibuku mengira rumah disatroni maling.





Namun sayangnya, sepertinya ayahku, tidak, tidak hanya ayahku, tapi juga ibuku–––baiklah, kedua orang tuaku, cukup tertekan karena kebiasaan baruku yang menurutku cukup mulia––– membersihkan rumah dan membuat kue––– ini. Melihatku yang sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melamar pekerjaan kembali, atau untuk kembali tergerak mencari beasiswa pascasarjana, dan karena aku yang berkali-kali mengatakan aku sama sekali tidak berniat melakukannya, sepertinya menambah tekanan pada mereka berdua. Sepertinya mereka berdua mulai merasakan perasaan salah investasi terhadap diriku. Sebagai anak pertama, yang diberi nama yang memiliki arti harapan tinggi dan mulia, aku tentu saja diharapkan untuk menjadi seperti yang mereka harapkan, yang tentu saja layak dibanggakan. Sejauh ini aku berhasil menempuh pendidikan di sekolah-sekolah terbaik hingga tingkat sarjana, “tapi kenapa hanya berhenti sampai disitu, justru lulus pendidikan sarjana adalah permulaan, tapi kenapa anakku ini hanya berhenti sampai disitu?” mungkin begitu pikir beliau berdua.



Aku bercerita sebelumnya, bahwa aku berhenti berbicara dengan kedua adikku karena mereka tidak pernah mau menjaga kebersihan dan kerapian yang selalu aku mati-matian tekankan. Sampai aku menulis ini, mereka juga sama sekali tidak berubah, justru mereka mengganggap mereka innocent dan akulah yang memulai perang. Tidak salah –––karena memang akulah yang memulai perang, tapi tidak benar juga kalau mereka mengganggap mereka sama sekali tidak bersalah. Tapi sayang sekali aku sudah tidak punya niat untuk berbaikan kecuali mereka duluan yang mengajak berbaikan. Tapi akupun tidak berharap–––sama seperti ketika mereka tidak merapikan kembali apa yang mereka telah buat berantakan, tanpa berkata apapun aku akan merapikannya kembali. Sama seperti ketika mereka membiarkan piring kotor sisa mereka memasak makanan menumpuk, tanpa berkata apapun aku akan mencucinya––– aku sudah kehilangan minat untuk mengharapkan mereka memiliki niat apalagi tergerak untuk melakukannya.



In 100 Days My Prince's episode 15, when Yoon Seok Ha was about to die because Kim Cha On killed him by stabbed his heart with a sword, there was a flashback when Seok Ha told Kim So Hye about the story of Little Dandelion. I'm pretty sure you also hear this story.



A long, long time ago, it once rained for a long time. The whole land was flooded, even the dandelions were almost drowning. Little Dandelion prayed, 'please save me' to the sky. Then suddenly the wind blew, which sent dandelion seeds flying and landing on a sunny hill. Moments later, they sprouted and bloomed.

If we follow the wind, we'll be able to bloom somewhere else


Aku sudah berhenti mengharapkan dan atau berusaha membuat orang lain untuk menyukaiku, pun demikian aku sudah tidak berniat untuk membuat orang lain menyukai. Aku akan membiarkan semuanya mengalir mengikuti arus kehidupan.



The day I told everyone to stop expecting me, I also stop expecting other people. Hari dimana aku meminta agar orang lain tidak berharap kepadaku, aku juga memutuskan untuk berhenti berharap pada orang lain.



Comments

Popular posts from this blog

そして、生きる

di pagi buta ini aku kembali membaca tulisan yang aku buat pada bulan Desember tahun 2014. dimana Rangga bilang, aku adalah anak yang gigih, karena selalu melakukan sesuatu yang disukai dengan 1000% usaha. Rangga adalah awal.  Pemilik Nirmala adalah proses.  dan aku akan menentukan akhirnya. Philip Dormer Stanhope, Earl of Chesterfield once said,   "It's important to have the ability to distinguish between impossible and possible..." melepaskan dan merelakan bukan berarti kegagalan. melepaskan dan merelakan juga bagian dari belajar. keberanian memang dibutuhkan untuk tetap bertahan. hanya orang-orang gigih dan penuh tekad yang mampu bertahan. tapi keberanian juga dibutuhkan ketika merelakan dan bergerak maju.  tidak mudah untuk memutuskan mengambil satu dua langkah ke depan dari tempat awal bertahan. terutama ketika ada begitu banyak perjuangan dan usaha yang dikerahkan untuk sampai di tempat itu. ada kalanya kita harus menyadari kapan waktunya untuk bertahan dan kap...

untuk Dany di surga

ini sudah hampir seminggu setelah kepergianmu... takkan selamanya, tanganku mendekapmu. takkan selamanya, raga ini menjagamu. Seperti alunan detak jantungku, tak bertahan melawan waktu dan semua keindahan yang memudar atau cinta yang telah hilang... lagu ini.. lagu yang dimainin pas Kirana kemaren. Waktu semuanya belum berubah. Waktu aku masih bisa ngeliat kamu ketawa. You’re gone too soon dan... Rest In Peace Dany Candra Kurniawan.  “Mas Dany kecelakaan mbak pulang dari Kirana kemaren. Meninggal.....” DANY? Kamu beneran udah meninggal? Aku nggak percaya. Aku nggak mau percaya. Bilang kalo mereka semua bohong soal kamu Dan! Bilang ke aku itu semua cuma bohong! Kamu masih sehat kan? Kamu besok masuk sekolah kan? Kirana kemaren kamu masih ngobrol sama aku. Kamu masih minta difoto sama aku. Kok secepet ini? Aku nggak percaya. Aku belum mau percaya. Tolong bilang kalo semua ini bohong... Nanti nggak ada yang bilang, “aku kan kereeeen” lagi di kelas. Nggak...

pulang ke rumah

Rumah? Sebenernya apasih yang bisa disebut rumah itu. Bangunan beratap dengan kasur bantal dan guling di dalamnya? Atau apa? Sebenernya apa yang bisa dan layak aku sebut sebagai rumah? Kriteria apa yang memenuhi untuk kemudian bisa disebut rumah. Dan ketika aku bilang, “I wanna go home,” sebenernya ‘home’ seperti apa yang ingin aku tuju? Walaupun aku masih belum mampu menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri, aku rasa tidak semua tempat bisa disebut rumah, dan tidak semua tempat akan terasa seperti rumah. Dan aku pikir, kalian juga setuju. Masafin bilang, aku selalu susah buat diajak kumpul, merapat menuju keramaian dan gelak tawa. Masafin bilang aku ngga pernah berubah. Selalu aja bermasalah setiap ada kumpul-kumpul. Dia bilang aku selalu malas bersosialisasi, aku tidak mau hidup di luar duniaku, aku tidak mau berinteraksi selain dengan duniaku. Aku juga tidak tahu. Tidak tahu mungkin memang bukan jawaban yang diinginkan ketika ada pertanyaan. Tapi sejauh ini, a...