Jadi, aku pengen cerita aja, cuman mungkin kurang pandai cara penyampaiannya yang benar, jadi monmaap kalo kata-katanya belepotan dan melenceng dari judul.
Terlahir sebagai orang jawa, yang katanya suka sekali
basa-basi dan ga enakan sekedar untuk kesopanan. Well, menurutku ini sangat
kurang menguntungkan, terutama untukku.
Jadi orang nggak enakan itu nggak enak. Minjemin duit
ke temen, ditagih alesannya belum ada duit, ya sama gw juga kaga ada duit, trus
lama-lama jadi ga enak sendiri. ini napa jadi yang minjemin duit yang ngerasa
ga enak. Segan nolak permintaan orang. Mau minta tolong ke orang pun sungkan.
Niat basa-basi tapi jatuhnya malah failed. Udahlah,
kalo aku mending tutup mulut aja. Itulah gunanya headset dan masker. Mencegah
percakapan yang tidak perlu.
Beginilah aku.
Walaupun terkenal sebagai anak yang cukup hyper,
basically aku adalah anak yang anti sosial, yang lebih suka melakukan sesuatu
sendiri, yang menarik diri dari hingar bingar keramaian. Aku prefer
menghabiskan waktu di kamar, daripada harus bersusah payah menjadi anak yang
sok asik ketika masuk ke dalam suatu pergaulan. Menurutku, sendiri lebih
menyenangkan, dimana aku punya duniaku sendiri dan tidak seorangpun boleh masuk
ke dalamnya.
Tapi aku suka cerita :( dan aku butuh pendengar yang
baik.
Pernah dulu ketika aku sedang butuh support,
orang-orang yang aku harapkan benar-benar aku harapkan dukungannya, malah
bilang, “Nadia kan goblok. Gembeng. Lemot. Mana bisa jadi pemimpin”. Oh okay,
that was rude. Fyi, aku masih sakit hati sampai sekarang. Oh iya aku ini
pendendam ya. Tapi ya memang benar yang mereka bilang. Aku bisa apa?
Aku tipe anak backstage, yang selalu ada di bawah
bayang-bayang. Bukan yang selalu jadi perhatian dan diperhatiin. Aku kurang
percaya diri, alasannya klise, “kekuranganku adalah tidak punya kelebihan”.
Mungkin itulah salah satu alasan aku tidak pernah diberi kesempatan. Yeah, you
know what I mean.
Aku punya wilayah privasi dan sangat ngga suka ketika:
Nad, kamu di kos ngga? Aku main ke kosmu yaaa.
Naad, aku nginep di kosmu yaaa.
Nad, kamu di mana? Temenin aku belanja dong.
Naaad, lu selo kaga? Udah makan belom. Makan yuk ama gue.
dll.
dst.
dsb.
Aku super duper sangat ingin untuk menjawab, “Gah!
Males gw”, tapi nggak enak. Akhirnya, “oke” “iyaa” “gapapa” adalah jawaban yang
terpaksa aku pilih untuk menghindari konflik sosial walaupun batin ini
mengalami civil war. Monmaap kalo aku selayaknya sudah seperti orang munafik
yang bermuka dua. Sorry to say, but I love being alone, tanpa harus pura-pura
everything alright dan ketawa-ketawa like nothing happened.
Sumpah itu capek.
Atau ketika mereka aku ijinkan memasuki wilayah
teritorialku, mereka melakukan hal yang mungkin sederhana tapi bikin naik darah.
Tipe-tipe dibaikin malah ngelunjak.
Ingin aku memaki-maki, sungguh.
Habis makan, sampah langsung dibuang ya, itu tempat sampah sudah disediakan, tolong.
Eh kasur gw jangan diinjek-injek boleh ga, lo belum cuci kaki anjir.
Kalo baju lo kotor, bisa ga kalo ga ditaroh diatas jemuran gw yang barusan gw angkatin.
Eh lo kalo pinjem motor, bensin dipenuhin lagi dong, elah.
Minta anter mulu, naik ojol aja elah, manja bener.
TOLONG KEPEKAANNYA DIPUPUK YA, MAHASISWA!
HUH.
Kalo seperti gunung Merapi, mungkin aku sudah erupsi
freatik.
Tapi itulah aku.
Masih sabar.
Alhamdulillah.
HUFFFF.
Kalo sesekali, it’s okay, aku akan maklum. Tapi kalo
berkali-kali itu, mungkin Allah sedang menguji tingkat kesabaranku kali ya. APAKAH
INI BAGIAN DARI COBAAN HIDUP, YA TUHAN.
Pernah dulu, waktu SMP, kebetulan aku berasal dari SD
yang kurang unggulan, jadi hanya 2 orang dari sekolahku yang lulus tes. SMPku
dulu adalah satu-satunya sekolah menengah pertama bertaraf internasional di
kotaku. Beken dan salah satu sekolah unggulan. Banyak siswa baru yang diterima
disitu berasal dari SD-SD unggulan. Karena hanya 2 orang yang diterima, dan
kami berdua ternyata beda kelas, otomatis aku nggak punya temen. Entah apa yang
aku pikir saat itu, tapi aku berusaha berteman dengan menjadi anak aneh.
Sepertinya tidak perlu diceritakan mendetail disini karena sangat memalukan
kalo diingat-ingat, dan teman-teman SMPku pasti akan sangat bersemangat
menceritakan masa laluku waktu SMP. Aku berhasil punya temen lo, coba tebak,
mereka mengenalku karena apa? “oh, Nadia yang freak itu ya? Yang suka pake
headphone di ruang Bahasa trus pura-pura jadi DJ”. Anjir.
Aku waktu SD lebih freak lagi.
Hah.
Hidupku.
Aku berhenti punya teman dekat semenjak menyandang
status sebagai mahasiswa. Aku sempat kesulitan mencari seseorang yang bisa aku
ajak berbagi suka dan duka. Bodo amat dah ketika aku diejekin adek tingkat yang
selalu bilang, “sendirian mulu, temennya mana mbak?”. Gapapa, males aja gitu.
Aku hanya merasa tidak cocok untuk bergabung pada suatu komunitas atau suatu
perkumpulan yang sifatnya mengikat. Himpunan ini itulah, keluarga mahasiswa
lah, forum ini itulah. Salah paham kalo kamu mengira aku tidak ingin
bersosialisasi. Aku ingin! Karena manusia adalah makhluk sosial. Siapa sih yang
nggak suka punya teman? Siapa sih yang ngga suka punya seseorang yang bisa
diajak berbagi?
Tapi entah kenapa aku memang nggak nyaman aja.
Teman-temanku di kampus ataupun di tempat part time baik-baik kok, beberapa
agak sarkas, ya kindly normal just like others. They eat rice, they sleep, they
stay up all night doing their assignments. Atau apa aku saja yang abnormal ya?
Hm.
Kenapa?
Ya sesimpel nggak cocok, itu aja. There’s no
particular reason.
Sampai seorang teman lamaku memberiku sebuah kalimat
sederhana yang penuh arti, “the world is full cactus, but you don’t have to sit
on it”.
You know, I tried.
Comments
Post a Comment