Skip to main content

pulang ke rumah

Rumah?

Sebenernya apasih yang bisa disebut rumah itu. Bangunan beratap dengan kasur bantal dan guling di dalamnya? Atau apa? Sebenernya apa yang bisa dan layak aku sebut sebagai rumah? Kriteria apa yang memenuhi untuk kemudian bisa disebut rumah. Dan ketika aku bilang, “I wanna go home,” sebenernya ‘home’ seperti apa yang ingin aku tuju? Walaupun aku masih belum mampu menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri, aku rasa tidak semua tempat bisa disebut rumah, dan tidak semua tempat akan terasa seperti rumah. Dan aku pikir, kalian juga setuju.





Masafin bilang, aku selalu susah buat diajak kumpul, merapat menuju keramaian dan gelak tawa. Masafin bilang aku ngga pernah berubah. Selalu aja bermasalah setiap ada kumpul-kumpul. Dia bilang aku selalu malas bersosialisasi, aku tidak mau hidup di luar duniaku, aku tidak mau berinteraksi selain dengan duniaku.

Aku juga tidak tahu.

Tidak tahu mungkin memang bukan jawaban yang diinginkan ketika ada pertanyaan. Tapi sejauh ini, aku hanya bisa menjawab dua kata itu. Tanpa bisa menjelaskan, sebenarnya apasih yang ada di dalam pikiranku, sebenarnya ada apasih sama aku.





Kadang, aku bertanya sama diriku sendiri.
Bener ngga sih kalo nadia ini anaknya grapyak seperti mereka menyebutnya?

Bener ngga sih kalo nadia ini anaknya mudah beradaptasi, mudah bersosialisasi seperti mereka menyebutnya?

Bener ngga sih kalo nadia ini loyal seperti mereka menyebutnya?

Dan ketika diriku sendiri menjawab tidak, lantas mengapa mereka menilai demikian? Aku dingin, aku tidak peduli apa yang terjadi di sekitarku, aku hanya datang karena aku ingin “teman”, aku tidak benar-benar dengan mudah bersosialisasi. Aku tidak mudah berteman. Dan aku tidak mudah menjadi teman. Alam bawah sadarku dengan mudahnya merekam semua kenangan-kenangan menyakitkan. Mungkin ketika aku bilang, ngga papa aku sudah lupa, kenyataannya aku tidak benar-benar lupa. Rasa sakitnya masih ada.
Bernanah.



Ketika mas dawai bercanda bilang aku mungkin stres secara psikis….. oke dengan agak berat hati, mungkin dia benar. Ada begitu banyak yang aku pikirkan. Ada begitu banyak pertengkaran dalam benakku. Ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Tapi yang keluar malah kebalikannya. Nadia yang rame, yang katanya suka bergaul, yang katanya grapyak, yang katanya ceria cerewet.



Bahagia itu pilihan. Benar.
Aku memilih bahagia.
Tapi bagaimana cara membahagiakan hati dan pikiranku?
Pernah tau cake lava? Yang luarnya tebal, tetapi dalamnya luber tidak seperti tampilan luarnya. Itu benda yang pas yang bisa menggambarkan aku, sekarang, terutama.


Aku seperti mengalami krisis identitas setiap kali ada sesuatu seperti ini, pada sesuatu yang mengharuskan aku untuk turut bergabung dalam keramaian. Ketika kebanyakan orang mungkin dengan mudahnya memainkan peran, kenapa aku sulit? Kenapa sulit sekali buat aku, setidaknya ikut larut, seperti gula dalam teh, atau setidaknya seperti bubuk kopi dalam air panas, walaupun tidak benar-benar larut, setidaknya “menghitamkan”. Tapi aku justru lebih memilih berjalan sendiri dalam keramaian. Memilih berkegiatan sendiri dalam hiruk pikuk. Aku lebih memilih duduk tersudut, diam dan menjadi pengamat. Entah kenapa aku tidak tertarik turut andil.


Aku butuh pengertian.
Sedikit saja pengertian disertai kasih sayang dan kepedulian.

Nando mungkin bilang setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam penyampaian rasa sayangnya. Mungkin selama ini masafin sama ayah selalu menyampaikan rasa sayang dengan marah-marahnya bentakan bentakannya padaku. Mungkin nando menyampaikan rasa sayang dengan selalu diam mendengarkan keluh kesahku. Mungkin mas toni menyampaikan rasa sayang dengan ejekan-ejekan meyayat hati. Mungkin mas mirza menyampaikan rasa sayang dengan kritik saran nasihat dan tegurannya. Mungkin mas ibad menyampaikan rasa sayang dengan cara bicaranya yang suka menusuk. Setiap orang punya caranya sendiri, dan aku mungkin tidak memahaminya.

Tapi aku tidak ingin dibentak. Aku tidak ingin dimarahi. Diejek. Dikritik dan sebagainya.








Masafin, aku pingin pulang. Pulang kembali kepada “keluarga”. Pulang kembali kepada “rumah”. Tapi keluarga dan rumah seperti apa yang sebenarnya ingin aku tuju?

Comments

Popular posts from this blog

久しぶり

昔好きだった人にもう一度話したかった。 久しぶり、 元気だった? 最近どう? それだけ知りたかった。 私は元気だよ、君は…って こっちは天気だんだん寒くなるよって 毎日大変だったけど、楽しもうとしているよって伝えたかった。 もう一度会いたかった。 会って話したかった。 昔好きだった人にまた普通に話したかった。

Lost in Japan: one day in Nara

Pada awal bulan September 2018, aku menghabiskan seharian waktuku di Prefektur Nara, Jepang. Apabila dibandingkan dengan prefektur lain di wilayah Kansai, sepertinya Nara adalah prefektur paling tenang. Yang sepertinya lagi, populasi rusanya lebih tinggi daripada populasi manusianya. Prefektur Nara terkenal dengan rusa-rusanya. Rusa-rusa ini dianggap sebagai dewa, sehingga tidak ada pemburuan, justru dipuja dan tidak ada saingan aliasnya lagi adalah tidak ada predator. Rusa-rusa ini benar-benar merajai prefektur Nara, aku menyadarinya ketika keluar dari Kintetsu-Nara Eki.

ingin berhenti

Tulisan pertama di tahun 2020 berisikan tentang luapan amarah yang tidak pernah tersampaikan kepada yang bersangkutan, tentang harapan yang entah kapan akan terwujudkan, tentang keputusasaan dan ketidakpercayaan diri yang terakumulasi dengan sangat baik. Aku marah kepada dunia. Aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa sih manusia selalu SARA. Lemah lalu menyalahkan gender. Umur lantas menentukan bagaimana bersikap. Dan lain-lain.. Kalau lemah, ya lemah aja. Jangan bawa-bawa “aku kan cewek” untuk membenarkan ketidakberdayaan. Kalau memang enggan, ya bilang tidak mau, jangan bawa-bawa “bukan umurku melakukan ini”. Kalau tidak tahu diri, ya jangan bawa-bawa “aku sudah tua, kamu harus menghormati dan menurutiku. Aku berhak memerintahmu” untuk membenarkan kesemena-menaan. Kalau tidak tahu malu, ya jangan bawa-bawa "Aku kan bukan orang jawa" untuk memenuhi keegoisan. Ada batasannya. Garis batas yang begitu tipis.