Skip to main content

mungkin lebih ke....hati?


empati?
simpati?

tiba-tiba ingin sekedar membagi apa yang mengusik pikiran. yang rasanya menusuk-nusuk dan membuat otak seketika memberi perintah untuk mengeluarkan air mata lewat kelopak mata indah ciptaan Allah ini.


sepertinya aku dulu pernah bercerita lewat tulisanku di blog ini sebelum ini, tentang bagaimana aku tidak mampu menahan perasaan penuh kesakitan saat melihat betapa apa yang terjadi di dunia ini terlalu tidak adil, terlalu tidak sesuai pada tempatnya. dan betapa rasa sakit itu bertambah ketika aku bahkan belum mampu melakukan apapun untuk mungkin setidaknya mengubah keadaan, memperbaiki keadaan, menempatkan apa yang seharusnya ada pada tempatnya.



di depan gerbang utara fakultasku, setiap pagi, selalu setiap pagi, dan memang sejak pagi bahkan ketika jalanan masih sepi dan belum banyak mahasiswa yang berkeliaran di area kampus, aku melihat kakek itu duduk di pinggir jalan. selalu di saat yang sama, tempat yang sama, dan dengan pakaian yang selalu sama.

setiap aku menuju ke asrama putra jember, di sisi kanan jalan aku selalu melihat seorang nenek dengan gudeg dagangannya. selalu pada saat yang sama dan pada tempat yang sama, dan dengan senyumnya yang sungguh rasanya aku tidak tega untuk terus menerus memandangnya. selayaknya orang berjualan gudeg, yang merupakan makanan tradisional khas jogja, yang banyak orang masih melestarikannya dengan berjualan di pagi atau malam hari, nenek itu menurutku yang paling punya kesabaran luar biasa. biasanya orang berjualan gudeg di pagi hari jam 9 atau 10 pagi sudah merapikan dagangannya karena habis terjual. tapi pukul 11 bahkan 12 siang, masih setia menunggu dagangannya. 

di daerah sekitar kampus, pada jam-jam pulang kampus, aku selalu melihat sepasang kakek dan nenek yang berjalan. si kakek berjalan menuntun si nenek yang buta. entah aku juga tidak tau apa tujuan mereka. mengemis tidak. tapi sekedar berjalan-jalan? aku tidak tahu.

setiap pulang malam, di pinggir-pinggir jalanan menuju ke arah kampus, ada bapak-bapak yang hanya berselimut sarung supaya nggak kedinginan, menunggu dagangannya laku.




selalu seperti itu.
dan aku terpukul. tersakiti. iba.



nando bilang aku mungkin keterlaluan dalam penggunaan hati dan perasaan. aku terlalu sensitif, terlalu empatik, terlalu gampang merasa iba. dan....itu membuat aku mungkin ya, lebih banyak mengeluarkan airmata karenanya. lebih banyak tersakiti. lebih banyak merasa aku tidak berguna karena tidak mampu berbuat sesuatu, untuk mereka.


secara pemikiran pribadi mungkin aku lebih menaruh respek kepada mereka yang masih menggunakan tenaganya, masih berusaha menggunakan sisa semangat yang ada untuk mencari rejeki tidak hanya sekedar tinggal duduk dan hidup dari belas kasihan orang lain.



aku gampang merasa iba terhadap orang lain. 
aku gampang meneteskan airmata, bahkan hanya sekedar karena melihat sesuatu yang menyedihkan atau mengharukan.
terlalu banyak bergaul dengan teman-teman lawan jenis tidak membuat aku menjadi anak yang tidak gampang memikirkan sesuatu dengan perasaan. lemah, mungkin bisa dianggap seperti itulah aku, begitu juga kata mas safin. dan itu membuatku dikenal dengan sebutan nadia yang nangisan. mungkin iya, aku ngga bakal mengelak karena memang begitulah kenyataannya.








aku ingin membantu.
mungkin dengan setidaknya memberi sedikit yang aku punya untuk kakek pengemis di depan fakultas itu, tidak hanya sekedar memberi senyum ketika aku melewatinya. atau dengan selalu membeli gudeg nenek itu, sehingga aku setidaknya bisa memberinya semangat untuk terus berjualan hingga dagangannya habis terjual. atau dengan memberikan makan sepasang kakek nenek itu...


sebenernya salah ngga sih kalo aku terlalu gampang berempati?
karena aku tau ngga semua orang mau dikasihani. lantas bagaimana perasaan nenek itu saat beliau tau aku membeli dagangannya disamping karena aku memang suka gudeg dan ada rasa kasihan dan respek yang lebih besar dari "karena aku suka gudeg". 


mas dawai bilang, setiap orang sudah diberi jatah rejekinya masing-masing. 
semoga Allah selalu melindungi dan melimpahkan rejeki kepada mereka yang masih berusaha dengan segenap kekuatan dan semangat yang mereka miliki.











sebenernya salah ngga sih kalo aku terlalu gampang berempati?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

そして、生きる

di pagi buta ini aku kembali membaca tulisan yang aku buat pada bulan Desember tahun 2014. dimana Rangga bilang, aku adalah anak yang gigih, karena selalu melakukan sesuatu yang disukai dengan 1000% usaha. Rangga adalah awal.  Pemilik Nirmala adalah proses.  dan aku akan menentukan akhirnya. Philip Dormer Stanhope, Earl of Chesterfield once said,   "It's important to have the ability to distinguish between impossible and possible..." melepaskan dan merelakan bukan berarti kegagalan. melepaskan dan merelakan juga bagian dari belajar. keberanian memang dibutuhkan untuk tetap bertahan. hanya orang-orang gigih dan penuh tekad yang mampu bertahan. tapi keberanian juga dibutuhkan ketika merelakan dan bergerak maju.  tidak mudah untuk memutuskan mengambil satu dua langkah ke depan dari tempat awal bertahan. terutama ketika ada begitu banyak perjuangan dan usaha yang dikerahkan untuk sampai di tempat itu. ada kalanya kita harus menyadari kapan waktunya untuk bertahan dan kap...

upgrading

Setiap orang mengalami fase-fase dimana dia akan menggunakan kilasan-kilasan masa lalunya untuk memperbaiki diri atau justru menjadikannya alasan untuk menjadi semakin buruk. Ada yang menyesali masa lalunya dan ada yang sangat berterima kasih akan itu. Akupun demikian. Memasuki semester yang penuh helaan nafas dan sambatan khas mahasiswa semester injury, aku telah banyak belajar bahwa ada kalanya apa yang telah kita lalui dan apa yang terlewati di masa lalu itu memang selayaknya terjadi untuk membentuk diri kita di masa ini.

Rangga Adriatmoko

Cause as long as you keep it as a secret, it’s gonna be okay... Aku melihatmu mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna merah-hitam-putih, celana jeans hitam serta sepatu kets putih dan menenteng sebuah gitar listrik. Sepertinya, kamu sedang bersiap-siap untuk naik ke atas panggung.  Aku terpaku.  Ah, kamu tampak begitu tampan.  Kau tampaknya memang bukanlah sosok yang pantas untuk diabaikan. Dan aku, tak sedikitpun mengalihkan padanganku ke arah lain selain ke arahmu. Tak peduli seramai apa suasana disini, yang aku ingin hanyalah memandangmu.  Iya, cukup kamu. Tepuk tangan riuh mengakhiri penampilanmu yang memukau itu. Semua penonton bersorak-sorai meneriakkan namamu. Dari atas panggung itu, kulihat kamu tersenyum, tersenyum manis sekali. Aku menatapmu lama.  Pikiranku sepenuhnya tersedot oleh asa tentangmu.  Aku terhipnotis.  Kamu tahu, bagiku, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan ini. Bahkan hingga kamu meletakkan gitarm...