Skip to main content

aku dan apa yang mereka sebut sebagai ujian nasional


Dan disinilah aku sekarang.
Duduk di belakang meja kayu di sebuah ruang ujian dalam ketegangan yang sungguh sangat menyebalkan. Tidak, tentu saja aku tidak sendirian. Ada sembilan belas anak lain yang juga bernasib sama denganku di ruangan ini. dan masih ada ribuan anak lain seumuranku yang juga merasakannya. Ketika kami diharuskan....ah tidak, karena memang ini sudah seharusnya bagi kami, untuk menghadapi hal sesuatu semacam ini. sesuatu yang mereka sebut, ujian nasional.
Aku rasa, tidak hanya aku yang berkeringat dingin ketika menatap lembaran-lembaran kertas soal yang ada di hadapanku. Aku tahu aku bukan satu-satunya. Bahkan kupikir ada yang mengalami hal yang jauh lebih buruk dari ini. dan aku bersyukur karena itu. dan entah bagaimana rasa tegang yang menyelimuti pikiranku sejak seminggu yang lalu, kini menguap begitu saja. Hanya saja, yang aku agak khawatirkan adalah perasaan bahwa semua hal yang aku pelajari berbulan-bulan yang lalu juga ikut dibawa pergi.
Aku sepertinya sudah mati rasa. Atau jangan-jangan saraf tubuhku lah yang tidak bekerja dengan baik. perkataanku barusan bukan tanpa alasan. Karena aku selalu tegang pada hal-hal sepele, dan bersikap santai pada hal-hal yang penting. Seperti saat ini misalnya. Aku memandang sekelilingku. Kenapa pula raut wajah mereka tampak teramat serius? Ada yang salah disini. Karena aku baik-baik saja, maksudku, aku tidak seserius mereka. Aku hanya lebih kepada...marah.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat ini, tapi bagiku ini hanya seperti ujian-ujian yang biasa aku lalui. Mungkin ada beberapa perbedaan pada sampul lembar soalnya, pengawas ruangannya, tekanan-tekanan yang tercipta karena semua ini dan tentunya sebuah tanggung jawab yang sangat besar.
Aku tidak bisa dibilang santai sebenarnya. Tentu tidak. Bagaimana kau bisa santai jika hasil ujianmu ini akan menentukan cerah tidaknya masa depanmu nanti? Aku sangat panik. Panik, marah dan pasrah. Lebih tepatnya begitu. Dan aku tidak tahu bagian mana yang intensitasnya lebih besar.
Aku sudah muak dengan semua hal tentang ujian  dan yang berhubungan dengan itu. kertas soal. Lembar jawaban komputer. Pensil 2B. Bulatan-bulatan mengesalkan itu. apalah itu semua. Hanya membuat kepalaku pening, otot leherku pegal dan lenganku sakit karena otot bisepku yang dipaksa berkontraksi dalam waktu lama.
Persiapan berbulan-bulan yang aku lakukan rasanya tak ada gunanya. Sungguh. Aku hanya bisa menjawab segelintir soal saja. Semua guru berkata soal-soal ujian nasional tak akan pernah sesulit ini. Bab-bab yang dijelaskan dalam pembelajaran intensif. bertumpuk-tumpuk latihan soal yang diberikan. beragam prediksi-prediksi soal. Tapi soal macam apa ini, pikirku marah. ini tak seperti soal-soal ujian nasional pada tahun-tahun sebelumku. Ini soal-soal yang seharusnya diberikan kepada para jawara olimpiade. Kenapa sesulit ini? aku marah. Marah pada pembuat soal. Terutama pada diriku sendiri. Kenapa aku sebodoh ini? kenapa aku bodoh di saat-saat yang tidak tepat seperti ini? aku memaki-maki diriku. Kemudian aku mendengar suara tawaku terbahak-bahak dalam pikiranku. Ya, aku menertawai kebodohan dan kemalanganku sendiri.
Harus seperti apa aku isi bulatan-bulatan mengesalkan ini? ingin rasanya aku mencoblos tiap bulatan itu, tapi ini ujian nasional, bukan pemilu. Atau perlukah aku menggunting dan kemudian menempelnya dalam pola bunga-bunga. Tapi ini ujian nasional, bukan kelas kolase di taman kanak-kanak. Aku memukul-mukul kepalaku berusaha mengembalikan akal sehatku.
Aku mengutuk mereka diluar sana yang bertindak tidak jujur dengan membeli kunci jawaban atau semacamnya. Aku pontang-panting belajar dan mati-matian mengerjakan soal sableng ini, mereka malah enak-enakan. Hei, apa gunanya kalimat ‘saya mengerjakan ujian nasional dengan jujur’, kalau kau bahkan tidak pernah benar-benar berniat untuk berlaku jujur? Pantas saja negara ini tidak maju-maju. Generasi mudanya saja sudah macam tikus yang mati di dalam gorong-gorong. Busuk.
Dan pada saat tingkat kemarahanku hampir mencapai puncaknya, aku merasakan ujung pensil mencolek punggungku dari belakang. Aku menoleh gusar, “apa?”. “kamu tahu nggak, jaringan dasar yang bla bla bla bla?” tanya temanku dalam bisikan. “parenkim”, jawabku pendek. “beneran?”, tanyanya lagi. Kalau kau tak percaya padaku, jangan tanya padaku, tolol!, bentakku dalam hati dan aku menjawab, “iya”. Dia memberi tanda pada lembar soalnya. “kalau yang ini?”, tanyanya lagi. Aku menjawab pertanyaannya lagi, dan begitu seterusnya. Aku seperti menghadapi dua ujian dalam satu waktu, ujian tulis dan mencongak. Entah berapa soal yang dia tanyakan padaku dan ini sudah cukup untuk membuatku sangat-sangat marah padanya. Sebelum ujian dimulai, dia bilang dia akan bersikap jujur, tapi nyatanya? Dasar pembual, kata suara dalam otakku.
Dia mencolek punggung lagi. “apalagi?”, tanyaku ketus. “soalku susah banget deh, kamu gimana?,” katanya di belakangku. Aku rasanya ingin menarik rambutnya, memaki-makinya dan berteriak padanya bahwa dia bukan satu-satunya tepat di depan wajahnya.
Aku seketika teringat pada mereka yang sangat berharap dariku. Orang tuaku. Keluargaku. Teman-temanku. Teman-teman Rangga. Rangga. Teringat bagaimana mereka memberiku semangat, nasihat-nasihat, doa... bagaimana aku berjanji mendapatkan nilai sepuluh. aku tidak bisa mengecewakan mereka, tidak untuk saat ini, dan tidak untuk selamanya. Aku menggigit bibirku, menarik napas dalam-dalam dan kembali pada lembar soal di hadapanku.
Bel tanda ujian usai berbunyi. Dan yang paling aku inginkan saat ini adalah segera tiba di rumah dan pergi tidur. “bagaimana ujianmu, sukses?”, pertanyaan itu yang aku dengar ketika bertemu yang lain sekeluarnya dari ruang ujian. Aku tertawa. Menertawakan keputusasaanku. Tapi kemudian semakin banyak anak bertanya hal yang sama, membuat amarahku mendidih lagi. Tapi aku hanya tertawa dan menjawab dengan jawaban yang sama, “enggak.”
Setibanya di rumah, aku melemparkan diriku di atas tempat tidur masih dalam seragam lengkap. Aku menatap tempelan-tempelan di dinding kamar, target-targetku, semangatku, tujuan hidupku. Dan yang aku rasakan selanjutnya adalah betapa tidak bergunanya aku.
***
Hari-hari selanjutnya sama menyedihkannya dengan hari pertama. Mungkin seratus kali lebih menyedihkan, karena aku bahkan tak bisa menjawab lebih dari separuh soal. Sebenarnya selama tiga tahun ini aku belajar apa? Kenapa semuanya terasa....begitu sulit. Apa ini yang dulu Rangga rasakan ketika ujian nasional? Tapi nilai ujiannya semuanya delapan. Kalau aku terus menerus seperti ini, mana mungkin aku mendapat nilai sepuluh? Nilai tujuhpun rasanya sama susahnya dengan terbang. Ini menurutku saja, atau memang demikian kenyataannya, tetapi soal ujian nasional SMA tahun ini, jauh lebih sulit dari tahun sebelumnya. Oke, bisa dibilang ini untuk sedikit menghiburku agar aku tidak melulu menyalahkan diriku sendiri.
Bel tanda ujian kurang lima belas menit lagi mengagetkanku. aku kembali sadar dari pikiranku yang mulai kacau. Aku menatap kosong lembar jawabanku. Mungkin hanya sampai sini saja kemampuanku, kemudian aku mulai menghitamkan bulatan-bulatan dalam lembar jawabanku.
Awas kalau dia berani tanya-tanya, ancamku dalam hati ketika aku melihat temanku berjalan ke arahku dan bertanya, “kamu bisa berapa?”. “nggak sampe lima belas,” jawabku. “sama,” timpalnya. Kemudian kita tertawa terbahak-bahak. Aku pikir aku nyaris gila sekarang.
***
Aku ikut ujian nasional tidak untuk pertama kalinya. Maksudku, pada tahun terakhirku di tingkat SD dan SMP aku juga mengikuti ujian serupa. Hanya saja, ujian nasional yang aku ikuti rasanya meninggalkan kesan yang buruk. Pada saat SD, kami dijadikan percobaan pelaksanaan ujian nasional yang pertama kali diadakan. Dan saat SMP, kami dijadikan percobaan pelaksanaan ujian nasional dengan lima tipe soal yang berbeda. Dan sekarang, kami dijadikan percobaan pelaksanaan ujian nasional dengan dua puluh tipe soal dan entah soal macam apa yang digunakan. Sungguh luar biasa. Menteri pendidikan negara ini memang sungguh sangat luar biasa... terlalu kreatif dan terlalu banyak inovasi. Mungkin tahun depan, bolehkah aku usul ujian nasional diadakan dengan sistem online yang langsung mengumumkan kelulusan siswa. Bagaimana bapak? Setujukah? Ah. sebenarnya, kalau boleh saran, mau berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tipe soal yang nantinya akan digunakan dalam ujian nasional, menggunakan peraturan ketat berbelit-belit, atau dengan soal olimpiade tingkat internasional sekalipun, jika bapak menteri tersayang belum bisa mencegah terjadinya kecurangan ya sama saja ujungnya. Hanya akan buang-buang uang negara.
Aku duduk di depan televisi yang menayangkan berita tentang ujian nasional. Lucu sekali rasanya melihat berita tentang ini karena sekarang akulah yang menjalani ujian ini sekarang. berita-berita itu menayangkan bagaimana siswa-siswa diluar sana sampai meminum air entah apa agar bisa lulus ujian. Aku geleng-geleng kepala. untunglah aku tidak seperti itu. Berita itu juga menyiarkan tentang bapak menteri yang merasa ujian nasional tahun ini adalah ujian nasional tersukses. Sukses? Sukses dalam hal apa, bapak? Dalam konteks pelaksanaan serempak tanpa penundaan seperti tahun lalu atau sukses dalam arti untuk menyulitkan siswa? Kurasa pernyataan yang kedua lebih mendominasi. Aku tertawa lagi. Aku memang benar-benar sudah gila.
Malamnya aku sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi. Otakku sudah penuh oleh keputusasaan, tak muat lagi dijejali pelajaran. Rasanya sia-sia aku memaksakan diri untuk belajar. Aku merangkak naik ke atas tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Namun sepanjang malam aku tidak bisa tidur karena pengaruh kafein dan lagi-lagi muncul pikiran-pikiran buruk akibat dari keputusasaanku menghadapi hari esok.
***
Ayah datang menjemputku seusai ujian. dan aku bersyukur untuk itu karena aku tidak perlu berpanas-panas ria di bawah matahari yang entah kenapa beberapa hari ini sinarnya begitu terik.
Aku duduk di halte di depan sekolah menunggu ayah datang saat temanku, yang juara olimpiade kimia duduk di sebelahku, tersenyum lalu bertanya pertanyaan klasik yang biasa ditanyakan teman-temanku yang lagi. “gimana, bisa?”. Jangan senyum-senyum!, bentakku dalam hati. Tapi aku hanya tertawa dan menggeleng. “ah, seriusan?”, katanya tidak percaya. Aku tertawa lagi, dan menjawab, “ya gitu deh hahaha”. Dan kemudian aku diselamatkan dari pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut darinya karena ayahku sudah datang.
“bagaimana ujianmu?”, tanya ayahku saat aku menutup pintu mobil. “ya gitu,” jawabku. “ya gitunya itu gimana?”, tanya ayahku lagi. “maaf ya yah, aku nggak bisa”. “loh kok bisa?”, tanya ayah tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang ramai. “ya bisa, orang soalnya susah kok. Susah bangettttt”. “lah terus gimana UGMnya?”. “nggak tau, doain aja”. Maaf jika nanti nilaiku akan mengecewakan ayah, kataku dalam hati.
Aku sudah selesai berjuang. Dengan berbulan-bulan malam penuh dengan kafein dan tumpukan buku. Iya. Aku sudah selesai. Aku optimistis dan pesimistis pada saat yang sama. Ketika sudah tak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan untukku menguatkan diri, aku hanya yakin pada pertolongan Allah. Pertolongan-Nya akan selalu datang tepat pada waktunya. Itu yang selalu aku yakini, bahkan sampai detik ini dan seterusnya.

Comments

Popular posts from this blog

tunggu aku

Aku tidak pernah terfikir untuk melanjutkan sekolah ke tingkatan yang lebih tinggi dari sarjana sebelumnya. Akupun belum terfikir akan menjadi apa kelak. Cita-cita menjadi arsitek rasanya sudah jauh tidak akan mampu tergapai, dan aku memang sudah memutuskan untuk menyerah dan berpegang teguh pada apa yang aku punya saat ini. Bidang studi yang aku pelajari saat ini tidak menghalangiku untuk mempelajari bidang studi lain. Karena pada kenyataannya, seminar kelasku mengenai teknologi beton dan penelitian tugas akhirku mengenai elektronika instrumentasi. Dan sempat membuatku bertanya-tanya, sebenarnya aku ini jurusan apa. Beberapa bulan yang lalu, aku mendapatkan kesempatan langka untuk merasakan bagaimana Jepang di musim panas. Bukan sebagai mahasiswa exchange , tapi menyatu sebagai penduduk Jepang pada umumnya. Mempelajari kebiasaan, tata krama dan kebudayaannya. Tidak untuk seminggu atau dua minggu saja, tapi kurang lebih hingga lima sampai dengan enam minggu. Aku meninggalkan kewa...

Lost in Japan: Arashiyama

Dari semua lokasi wisata yang terkenal di Kyoto, Arashiyama adalah salah satu lokasi wisata yang terkenal juga cukup beken. Jangan sampai dilewatkan. Arashiyama tidak hanya terkenal karena hutan bambunya, tetapi juga monkey park, jembatan Togetsu-kyo dan ini nih, jangan lupa untuk menyempatkan diri naik Sagano Romantic Train. Edisi kali ini aku akan menceritakan petualangan singkatku ke Arashiyama. Perginya masih sendirian saja karena 夏休み sudah berakhir dan sekolah sudah mulai masuk. Omku menyarankan sekali untuk pergi ke Arashiyama selagi ada waktu. Pokoknya selama aku di Jepang, aku tidak diijinkan mendekam di dalam kamar saja, aku harus keluar dan mengeksplor Kyoto selagi ada kesempatan. Setelah survey bagaimana Arashiyama dan bagaimana menuju kesana dari Kyoto, maka berangkatlah aku pada tanggal 3 September 2018 sekitar pukul 7 pagi waktu Jepang.

semua akan ada waktunya

When you feel exhausted, don't hold back, it's okay to be down -orange- Sedang musimnya tertekan dan depresi melihat teman-teman seangkatan satu per satu mulai menyelesaikan kewajibannya di kampus. Sedang musimnya iri melihat raut bahagia teman-teman yang berhasil menanggalkan status mahasiswanya. Sedang musimnya mengeluh dan sambat karena penelitian dan skripsi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sedang musimnya muak akan pertanyaan "semester berapa" "kapan sidang" "kapan wisuda"