Beberapa tahun terakhir ini aku merasa sedang jelek-jeleknya.
Jadi aku menyembunyikan diriku. Menarik diriku dari kehidupan sosial yang biasanya aku jalani dengan cukup normal.
원래 누굴 좋아할수록 보여주기 싫은 것도 많아지는 거니까
Ada yang bilang, semakin kita menyukai seseorang, kita tuh maunya hanya menunjukkan sisi terbaik kita. Semakin berharga, semakin sayang kita pada orang-orang di sekitar kita, semakin membuat kita berusaha untuk menyembunyikan sisi terjelek, sisi lemah yang kita punya. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa kita cukup kuat, cukup baik, cukup pantas untuk berada di sisi mereka.
Aku pengennya orang-orang lihat sisi terbaikku aja, I'm only wanting to show my strengths and my good sides. Aku tidak mau orang-orang jadi tahu sisi lemahku, lalu mulai merasa kasihan, lalu mulai menilaiku macam-macam.
I compare myself to other people a lot. I compare myself so much, blame myself when I can't do something, and begin to think of myself as inferior. At one point, I started being wary of how others see me. I have become so cautious of people's opinions. If I've tried my best, it doesn't matter whether the result would be good or bad, people gonna judge me, anyways.
I dwell too much on what others think of me.
Aku menjadi takut bertemu orang.
Aku takut akan pandangan dan penilaian mereka terhadapku.
Aku takut mereka akan menganggapku begini, menganggapku begitu.
Aku sudah memutuskan aku tidak akan mengeluh pada orang lain.
Karena setiap orang punya tekanan, beban dan tanggung jawabnya masing-masing, dan kenapa aku harus justru menambah beban mereka yang sudah atau bisa jadi lebih berat dengan merasa bebanku yang paling berat dengan merasa akulah yang paling menderita dan menyedihkan?
I'm a weak-hearted person. Easily get hurt, but always trying to say "it's okay, it's fine, I'll be fine"
Dulu, ketika malam perpisahan, Rangga pernah bilang, “See you on top!”.
Dengan keadaanku yang sekarang, aku menjadi berpikir, Rangga apa kabar ya? sudah hampir 8 tahun sejak terakhir aku bertemu dengannya. apa karena aku belum berada di “top” jadi aku belum dipertemukan kembali sama Rangga? apa karena aku belum di “top” aku jadi belum punya keberanian, aku belum pantas untuk bertemu dengan orang lain?
Awalnya, aku pikir apa aku mulai se-insecure dan se-anxious ini karena waktu yang aku butuhkan untuk lulus tidak senormal teman-temanku yang lain. Atau karena lingkungan kerjaku yang cukup toxic. Atau karena seperti yang orang―yang pernah menjadi orang paling terdekatku―pernah bilang, ini semua karena aku hanya begini-begini saja, tidak berubah, tidak mau berusaha berubah.
Aku pikir awal mulanya karena kejadian dahulu kala.
Dulu.
Dulu sekali.
Bertahun-tahun yang lalu.
Ketika orang aku harapkan akan memberikan, setidaknya pertanyaan “kamu kenapa? Sini cerita” kepadaku disaat dimana aku benar-benar butuh support, atau setidaknya dia akan pura-pura mengerti, ternyata justru balik mencemoohku, menganggapku bertingkah berlebihanlah, tidak sesuai umurlah, tidak bisa membedakan mana bercanda mana tidaklah, mudah tersinggunglah…. they didn't understand and didn't even try to understand.
Kalau aku mengelak, maka aku akan dibilang menolak kritik, tapi kalau aku mengiyakan, maka aku akan dianggap playing victim―menyalahkan keadaan dan mengganggap diriku korban dari keadaan karena akunya memang begini.
Ingatan itu kemudian masih terbawa sampai saat ini. Membekas. Dan masih terasa perih.
Aku pikir aku hanya merasa burn-out dan dengan mengambil hari libur atau resign dari pekerjaan akan membuatku bisa sedikit bernafas lebih tenang. Orang―yang pernah menjadi orang paling terdekatku― pernah bilang, ya namanya juga kerja.
Aku pikir dengan satu atau dua pencapaian kecil akan membuat aku berani keluar berani kembali ke kehidupan yang telah aku tinggalkan.
Lah ternyata tidak.
Sama saja.
Kenapa masih terasa berat, ya?
Seperti yang pernah aku ceritakan dalam post sebelum ini, bahwa aku diterima di sekolah pascasarjana di Shizuoka University, Jepang melalui jalur seleksi khusus Asia Bridge Program. Belum lama ini, aku juga memperoleh pemberitahuan bahwa aku terpilih menjadi salah satu dari penerima beasiswa IUCHI. Yayasan beasiswa IUCHI hanya memberikan beasiswa kepada tiga orang dari seluruh Jepang. Belum resmi, karena salah satu kondisi persyaratan yang harus aku penuhi adalah aku harus tiba di sana bulan depan, dan sepertinya sulit terpenuhi karena situasi seperti sekarang ini.
Tapi aku sudah sangat senang aku punya kesempatan untuk bisa mengurangi beban keuangan kedua orang tuaku apabila aku telah resmi menjadi penerima beasiswa tersebut.
Tapi ternyata itu tidak cukup untuk membuatku memiliki alasan, memiliki keberanian untuk kembali ke kehidupan lamaku.
“aku nanti nongol lagi kalo udah final announcement program Master ah”, pikirku waktu itu, karena aku akhirnya bisa menjawab pertanyaan orang-orang soal kapan Nadia ke Jepang lagi. Akhirnya aku bisa dengan cukup bangga memberitahu dosen pembimbingku bahwa anak bimbingannya yang otaknya kosong dan tidak punya attitude ini ternyata bisa diterima S2 di Jepang. “nanti aku balik main Instagram lagi ah kalau udah lolos S2”, karena aku sempat berjanji akan muncul kembali di Instagram dengan akun real apabila akan berangkat ke Jepang. Tapi kemudian aku berpikir lagi, “nanti ditanya-tanya kemaren-kemaren ilang kemana aja, dll dll dll”, terus jadi males dan berubah pikiran jadi “kayanya ga perlu deh, begini aja udah enak, ngga perlu pake topeng”.
Aku pikir kalau aku lolos Master, kalau aku lolos beasiswa, maka aku akan bangga dengan diriku karena ternyata aku tidak sememalukan yang aku pikir.
Bakal berhenti takut.
Bakal berhenti menunduk.
Bakal berani keluar lagi.
Ternyata tidak.
Ketika diterima di program Master, trus kepilih jadi salah satu dari 20 orang penerima beasiswa ABP, trus nggak selang berapa lama kepilih lagi jadi salah satu dari 3 orang penerima beasiswa IUCHI. Kepikiran juga apa ini beneran? do i really deserve all of these?? i mean, is this only a dream? or maybe this is some kind of test?
Jatuhnya seperti tidak bersyukur, ya?
Aku jadi takut kalau aku terus begini Allah tidak akan mau mengabulkan doa-doaku lagi.
Aku minta maaf.
Berulang kali aku telah minta maaf karena aku yang seperti ini.
Aku juga lelah sebenarnya dengan aku yang begini.
Aku sepertinya memang sudah tidak tertolong lagi, ya?
Terpikir olehku beberapa hal.
Salah satunya adalah, kalau bunuh diri termasuk ke dalam dosa besar karena berusaha mengakhiri hidupnya lebih awal dari yang ditentukan, dan karena Allah Maha Mengetahui, jadi sebenarnya Allah sudah tahu bahwa hambaNya tersebut akan bunuh diri? Apakah berarti Allah telah menentukan akhir hidup hambaNya adalah saat hambaNya tersebut bunuh diri?
Aku mulai terpikir apakah jika aku mati, akankah ada orang yang merasa sedih dan kehilanganku?
Akan datangkah mereka ke pemakamanku?
Bagaimanakah mereka akan mengenangku?
Semuanya akan berlalu seiring dengan berjalannya waktu.
Dulu merasa berat sekali ketika akan menghadapi ujian nasional. Kemudian terasa berat sekali ketika penelitian. Kemudian terasa berat sekali ketika mulai menghadapi dunia kerja. Dulu terasa dunia seolah-olah akan berakhir ketika pertama kali harus berpisah dengan orang terdekat. Dulu terasa sangat kesepian ketika pertama kali harus menghadapi semuanya sendiri.
Aku tahu kalau semua pasti akan terlewati. sedikit demi sedikit, seiring berjalannya waktu.
Tapi kenapa masih terasa berat, ya?
Aku sudah berusaha, kok.
Mungkin bukan yang terbaik.
Aku tidak tahu “terbaik” menurutmu itu dinilai dari segi apa. Tapi aku hanya ingin bilang bahwa, aku benar-benar telah berusaha.
Setelah menonaktifkan beberapa media sosial yang aku punya, dan menghapus banyak post dalam blog ini, aku jadi sempat berpikir, apakah sebaiknya aku nonaktifkan juga blog ini ya?
Dalam perjalananku berusaha memperoleh kembali jati diri dan kewarasanku, aku mendorong jauh orang-orang di sekitarku, membuat mereka berpikir aku meninggalkan mereka sehingga mereka juga satu per satu mulai meninggalkanku. Lalu jikalau aku menghapus blog ini, lantas kepada siapa aku akan menumpahkan isi pikiranku ini? Jadi aku mengurungkan niatku.
Satu sisi, aku berharap orang-orang yang aku tinggalkan juga akan meninggalkanku dan mereka akan menjalani hidupnya dengan aku sebagai bagian dari masa lalu yang akan perlahan-lahan dilupakan. Namun di sisi lain, aku berharap mereka akan tetap bersedia menungguku kembali, meskipun mungkin nantinya aku tidak akan menjadi seperti aku yang mereka kenal dulu.
Kalau menyukai seseorang butuh alasan. mungkin saat ini, orang-orang yang menyukaiku karena keceriaan keterbukaanku, akan meninggalkanku karena menyadari alasan yang membuat mereka menyukaiku telah hilang. I'm not who I used to be.
Aku tidak akan meminta, tidak akan memohon, tidak akan lagi mengiba meminta mereka untuk tetap tinggal. Pergilah jika ingin pergi. Lagipula apabila tetap berada disini, aku takut sinarmu lama-kelamaan akan tertutupi oleh kegelapanku.
Dua minggu menjelang dimulainya perkuliahan, aku mulai khawatir.
Benarkah langkah yang aku pilih ini?
Otakku tidak cukup pintar untuk kembali menempuh studi, terutama program Master dan terlebih lagi di luar negeri.
Sebenarnya apa yang membuatku memilih jalan ini?
Keegoisan?
Keserakahan?
Keinginan membuktikan diri?
Apasih yang sebenarnya aku cari?
Dan yang terpenting, mampukah aku bertahan?
Comments
Post a Comment