Skip to main content

Lost in Japan: 日本,はじめて!


Sebenarnya sudah lama sekali ingin menulis ini semenjak kepulangan dari Jepang. Mungkin karena syndrome gagal move on setelah beberapa saat tinggal di negara maju dan harus kembali ke negara asalnya. Aku jadi suka membanding-bandingkan kehidupan selama di Jepang dan di Indonesia. Sebagai seseorang yang tinggal di Jepang hanya sebentar, aku tidak tahu apakah aku berhak untuk mengutarakan pendapat yang penuh dengan komparasi antara Jepang dan Indonesia. Tapi aku harus memantaskan diri, menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk menulis ini. Bagaimana sebenarnya kehidupan di Jepang dan apa yang harus Indonesia petik dari segala kemegahan dan kecanggihan teknologi Macan Asia ini. Meskipun tidak banyak orang Jepang yang bisa berbahasa inggris, tapi Jepang tetap mampu mengembangkan berbagai teknologi canggih dan bersaing ketat dengan negara-negara maju lainnya. Respect.


Di Jepang berapa lama? Tidak lama. Hanya selama musim panas. Sebenarnya ingin lebih lama, tapi situasi dan kondisi (read: skripsi) tidak memungkinkanku untuk tinggal lebih lama.

Jadi apa yang harus aku bahas terlebih dahulu? Hm. Karena per edisi sepertinya akan sangat panjang, pada edisi 1 ini lebih baik aku bahas mengenai kesan pertama merasakan panasnya musim panas di negara empat musim dan sistem transportasinya.  

Selama di Jepang, aku tinggal di daerah Shugakuin Yakushido-cho, Sakyo-ku, Kyoto-shi, Kyoto-fu, di sebuah apartemen bersama Tante dan Om yang kebetulan tinggal di Jepang. (-cho) disini seperti kelurahan, (-ku) menyatakan kecamatan, (-shi) menyatakan kota, (-fu) menyatakan prefektur (di Indonesia seperti Provinsi). Khusus untuk Kyoto dan Osaka menggunakan (-fu), Tokyo menggunakan (-to), Hokkaido menggunakan (-do) dan prefektur sisanya menggunakan (-ken). Aturan ini kalau di Indonesia mungkin seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kali ya. Dari apartemen ke stasiun Kyoto sekitar 40 menit menggunakan bus kota.

Sebelum tiba di Jepang, aku telah diperingatkan bahwa Jepang tengah dilanda heat waves. Suhu bisa mencapai lebih dari 45°C dan telah menyebabkan kematian banyak penduduknya. Dan selama musim panas, Jepang adalah sasaran empuk hujan badai dan angin topan. Aku sudah mempersiapkan diri dengan membawa banyak pakaian tipis yang menyerap keringat, tapi karena aku penerbangan tengah malam dan waktu tempuhnya cukup lama (± 6 jam), aku memilih menggunakan sweater. Aku menggunakan pesawat Garuda Indonesia rute Yogyakarta (Adi Sucipto) – Denpasar (Ngurah Rai) lalu Denpasar (Ngurah Rai) – Osaka (Kansai). Tiket pesawat seharga ¥70000 (PP) aku beli dari Sankei Travel yang berkantor di Tokyo, jadi tentu saja e-ticketnya pakai Bahasa Jepang hehe.

Begitu landing di Kansai International Airport (Kansai Kūkō), aku langsung berwow. Ini adalah bandara pertama di dunia yang menggunakan artificial island, terpisah jauh dari pulau utamanya dan dihubungkan oleh double decker bridge yang dinamakan Sky Bridge. Sky Bridge ini dapat dilewati kendaraan bermotor (mobil pribadi, taksi, mobil angkutan barang), bus limousine khusus bandara, dan kereta api. Dari dan menuju bandara juga bisa menggunakan bay shuttle dari Kobe. Untuk mencapai bangunan utama bandara, kita harus menaiki wing shuttle airport yang gratis dan selalu ada setiap beberapa menit sekali. Kalau ada waktu, kamu harus baca sejarah dan bagaimana Jepang melakukan pembangunan Kansai Kūkō, beneran keren.

Setelah melalui serangkaian proses imigrasi, aku akhirnya secara official menghirup udara Osaka. Panas. Aku memang sudah mempersiapkan diri akan suhu panas yang menantiku, tapi tidak sepanas ini. Ini terlalu-sangat-panas. Aku masih di bawah naungan atap selasar bandara tapi panas mataharinya seperti menembus atap. Apalagi aku memakai sweater. All right, this is suicide.


Aku naik bus limousine bandara tujuan Kyoto. Waktu tempuh kalo tidak salah ingat 1,5 jam, harga tiketnya…okay aku sudah lupa. Bisa dicek sendiri di web Kansai Airport Transportation Enterprise (KATE). Mahasiswa harus aktif mencari tahu ya, tidak boleh malas. Sewaktu beli tiketnya, nggak perlu khawatir ngga bisa Bahasa Jepang, soalnya ada pilihan untuk Bahasa Inggris juga. Dan disini aku terkesan banget sama etos kerja orang-orang Jepang. Ramah, tepat waktu, sangat disiplin. Kalau membungkuk itu beneran membungkuk hormat, bikin aku yang dibungkuk-i oleh mereka jadi sungkan dan ikut-ikutan membungkuk untuk menyatakan rasa terima kasihku. Kalau sedang kerja, pasti kerja, I mean bener-bener bekerja, bukan sambil main handphone atau ngobrol dengan rekan kerjanya (seperti yang biasa kita lihat di negara +62 ini).

Pulau buatan yang didiami (?) Kansai Kūkō ini jaraknya kurang lebih 50 km dari pusat kota Osaka. Sepanjang melewati Sky Bridge, kanan kiri aku tentu saja aku hanya melihat lautan. Gila lah Jepang ini, bisa kepikiran bikin bandara di tengah laut, di sebuah negara yang rawan bencana kaya gini (nanti akan ada sesi cerita pengalaman ketika aku menjadi saksi saat Jepang dilanda Typhoon Jebi yang membuat banyak transportasi umum rusak dan berhenti beroperasi beberapa hari. Stay tuned!). Enak banget di dalam bus, dingin ber-AC dan aku jadi ketiduran. Oh iya, di Jepang, ketika menggunakan transportasi umum, ada larangan mengaktifkan handphone. Jadi lebih baik bawa headset, headphone, dan handphone selalu dalam mode silent. Ini bedanya sama di Indonesia yang dibebaskan menelpon keras-keras bahkan menyalakan lagu yang sampai mengganggu penumpang lainnya. Oh, di jalan tol aku melihat motor (dengan spesifikasi tertentu) dibolehkan masuk.

Turun di Halte Stasiun Kyoto (Kyoto Ekimae), panasnya menyengat. Sangat disarankan untuk memakai payung atau topi dan sunglasses untuk mengurangi sengatan matahari. Bawa suito (botol air minum) sendiri, karena di Jepang banyak disediakan spot keran air siap minum (airnya seger banget sumpah), atau kalau tidak mau repot, bisa membeli minum dari Jidōhanbaiki (vending machine). Vending machine di Jepang ada dimana-mana dan menjual bermacam-macam hal. Mulai dari mainan, minuman (kopi, air mineral, bir, ocha, dll), makanan, bahkan es krim. Tapi daripada keluar uang lagi kan lebih baik bawa botol minum sendiri ya hehe.


Di Jepang, banyak perusahaan yang menyediakan jasa transportasi (Shinkansen, Bus, Subway, Commuter Line, Monorel, Kereta Ekspres, Semi-express dan limited express), ada JR (Japan Railways, yang paling besar), Odakyu, Keikyu, Tokyo Metro, Hankyu, Keihan, dll. Stasiun kereta di Jepang tidak seperti stasiun kereta di Indonesia. Stasiunnya benar-benar besar, luas dan I admitted meski berkali-kali aku ke Kyoto Eki, berkali-kali pula aku tersesat di dalamnya. Stasiun JR selalu jadi yang paling besar dan megah, baik dari segi arsitektur dan fasilitasnya. Stasiun di Jepang tidak hanya untuk kereta, tapi commuter, bus, subway, kereta peluru cepat (shinkansen), bahkan taksi pun punya spot sendiri di stasiun, dan ada mall, pusat informasi turis, hotel bahkan restoran dan toko oleh-oleh di dalamnya, itulah alasan mengapa stasiun di Jepang sangat besar. Ah ya tentu saja, ada stasiun kecil khusus pemberhentian commuter, subway atau kereta express. Bentuk bangunannya seperti stasiun-stasiun kereta api di Indonesia. Masing-masing perusahaan tidak hanya menyediakan jasa kereta tetapi juga bus, bahkan hotel dan mall. Dan masing-masing punya jalur, stasiun, dan halte pemberhentiannya sendiri. Karena banyaknya perusahaan transportasi di Jepang, dan masing-masing memiliki rutenya sendiri, ada kalanya jalur subway, kereta atau bus agak membingungkan, terutama Tokyo.

Di Jepang ada kartu transportasi e-money (IC Card) yang bisa digunakan untuk segala jenis transaksi, bus, kereta, vending machine, parkir dll. Setiap wilayah di Jepang punya kartu transportasi sendiri, misalnya wilayah Kanto menggunakan Suica atau Passmo, wilayah Kansai menggunakan ICOCA. Kartu ini sudah seperti kartu sakti. Punya IC Card bikin segala hal menjadi sangat praktis. Kamu ngga perlu antri dan susah-susah baca kanji untuk beli tiket, tinggal tap saja. Mesin untuk isi ulangnya juga ada dimana-mana. Dan ketika kamu meninggalkan Jepang, kalau masih ada saldo tersisa di dalam kartu, bisa loh diuangkan kembali, tapi menguangkannya harus di tempat kamu membuatnya. Kalau punya citizen card, kartu transportasinya bisa dikasih nama juga. Kartu ini bisa digunakan di berbagai stasiun (tidak peduli apapun perusahaan keretanya) dan bisa digunakan di wilayah manapun di Jepang. Jadi kalau punya ICOCA (wilayah Kansai) bisa digunakan ketika naik JR, Keihan, Odakyu, dll dan tetap bisa digunakan meskipun kamu berada di luar wilayah Kansai. IC Card untuk orang dewasa dan anak-anak juga dibedakan, loh. Praktis sekali kan.

Dari Kyoto Ekimae, aku harus berjalan ke bagian lain dari Kyoto Eki untuk menuju halte bus kota. Ah iya, di Jepang, ketika naik eskalator di sebelah kiri untuk diam dan di sebelah kanan untuk berjalan (khusus Osaka, di sebelah kanan untuk diam dan sebelah kiri untuk berjalan). Tapi akhir-akhir ini Jepang sedang menggalakkan kampanye tidak berjalan di eskalator karena berbahaya, jadi kalau terburu-buru lebih baik menggunakan tangga saja.

Aku sedang berada di stasiun tapi pemandangan kanan kiri adalah toko-toko barang-barang branded mahal dan restoran-restoran mewah. Di depan restoran disediakan lilin berbentuk makanan yang sangat mirip seperti aslinya sebagai bentuk presentasi dari jenis makanan apa saja yang mereka jual. Detailnya sangat mirip dengan aslinya. Makanan jepang dikenal dengan kecantikan dan keindahannya (?), hmmm kalimat mudahnya mungkin adalah “sangat instagrammable”. Banyak makanan yang terlalu cantik dan terlalu lucu sehingga sayang untuk dimakan.

Di Jepang, biasakan untuk antri ya. Masuk ke restoran untuk makan pun harus antri dan menunggu panggilan dari pramuniaganya. Begitu pula ketika menunggu untuk naik transportasi umum. Ada garis yang disediakan untuk menunggu, kita bisa berbaris mengikuti lajur garis tersebut. Naik transportasi umum (kalau tidak punya one day pass, IC Card) harus dengan uang pas. Kyoto City Bus ¥230 untuk dewasa dan ¥120 untuk anak-anak. Kalau tidak punya uang kecil, ada mesin penukaran uang di dekat supir bus. Naik bus dari pintu tengah, sedangkan turunnya lewat pintu depan. Di dekat supir ada kotak khusus untuk memasukkan uang, kotak itu akan otomatis menghitung jumlah uang yang masuk. Nah, berbeda dengan di Indonesia, kalau di Jepang, turun dari bus untuk transit di halte dan naik bus lain kita harus membayar lagi. Kalau di Indonesia kan as long as tidak keluar dari halte maka tidak akan bayar lagi. Maka dari itu, seandainya, meskipun punya IC Card lebih baik membeli one day pass atau two days pass kalau dalam 1 hari naik bus/subway berkali-kali, karena lebih hemat. One day atau two days pass bisa dibeli di convenience store (kombini) seperti 7Eleven, FamilyMart atau di pusat informasi turis.

Jepang sangat menghargai pengguna difabel. Ada kalanya ketika pengguna difabel akan menaiki transportasi umum (seperti bus atau kereta, misalnya) maka petugas akan membantu mereka naik, bahkan tidak segan-segan menggedongnya. Kalau tidak salah, digratiskan juga, jadi ngga perlu bayar. Pernah suatu hari waktu aku sedang naik bus untuk pergi ke pusat kota, ada seorang nenek yang membawa banyak bawaan. Sempat ada anak laki-laki yang berniat membantu, tapi ditolak. Dari halte untuk naik ke bus butuh waktu lama, tapi supir bus sabar menunggu hingga si nenek naik dan duduk. Pemberhentian terakhir di Kyoto Eki, si nenek ini juga butuh waktu lama untuk turun dari tempat duduknya, berdiri berjalan dan turun dari bus, dan lagi-lagi bapak supir dengan sabar menunggu. Respect. Pada event-event tertentu, misalnya ketika libur musim panas (natsuyasumi), ada promo eco-sama ketika naik bus kota. Promo ini menggratiskan 2 anak untuk naik bus, dengan syarat didampingi 1 orang dewasa.

Sayangnya, untuk membeli SIM Card membutuhkan citizen card. Tapi jangan khawatir, karena Jepang memiliki banyak spot Wi-Fi gratis, di tempat-tempat umum, di halte bus, di stasiun, bahkan di dalam bus. Ada yang bisa langsung terkoneksi ke handphone, ada pula yang mengharuskan untuk login atau menggunakan aplikasi khusus supaya kita bisa menggunakannya. Kita bisa juga menyewa Wi-Fi portable, tapi mahal (hahaha).

Tidak ojek online di Jepang. Mungkin kalaupun ada, menurutku tidak akan banyak penggunanya. Karena transportasi di Jepang sangat praktis dan mudah, yang membuat penduduk Jepang lebih memilih menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Well, parkiran di Jepang terbatas dan harga parkirnya mahal (biaya parkir dihitung per jam). Di Jepang, kita tidak bisa sembarangan parkir, karena ada petugas yang selalu berpatroli dan denda yang harus kita bayar sangat mahal. Pernah suatu ketika, sepupuku pulang sambil menangis dan berkata sepedanya hilang. Omku kaget. Tidak ada yang mencuri sepeda di Jepang. Sepertinya sepupuku tidak sengaja memarkir sepedanya di tempat yang tidak diperbolehkan parkir, sehingga petugas yang berpatroli mengangkut sepedanya. Ternyata benar. Sepedanya ada di stasiun penampungan sepeda sitaan, dan untuk mengambilnya kembali, kita harus membayar denda sekian ribu yen. Petugas akan menghancurkan sepeda-sepeda sitaan yang tidak diambil kembali oleh pemiliknya, penghancuran dilakukan secara rutin.

Untuk memanggil taksi, kita cukup mengangkat tangan, taksi akan berhenti di depan kita. Supirnya ramah, beberapa bisa berbahasa inggris, mereka juga pakai setelan jas selama bekerja (kecuali musim panas, sepertinya). Pintu taksinya bisa tertutup otomatis.

Ngomong-ngomong, yang sangat aku suka dari Jepang adalah mereka sangat memprioritaskan pejalan kaki dan pengguna sepeda. Berjalan kaki dan bersepeda adalah hal umum di Jepang. Di Kyoto University (Kyoto Daigaku) lebih banyak parkiran sepeda, dibandingkan parkiran kendaraan bermotor. Sangat berbeda dari Indonesia, yang mana trotoar untuk pejalan kaki malah dialihfungsikan untuk lapak berjualan atau lahan parkir. Volume kendaraan yang sangat tinggi, membuat jalanan penuh polusi dan tentu saja membahayakan pejalan kaki dan pengguna sepeda. Malah pejalan kaki dan pengguna sepeda harus mengalah pada mereka yang menggunakan kendaraan bermotor.

Selama di Jepang, berat badanku bertambah tapi bukan karena lemak tapi karena otot (hahaha). Aku banyak berkeringat karena berjalan dan bersepeda (fyi, jalanan di Jepang banyak yang menanjak). Jalannya bukan jalan santai (?) tapi jalan cepat karena kalau terlalu lama nanti bisa ketinggalan bus/kereta/subway. Di stasiun/halte terdapat papan pengumuman kedatangan dan jadwal keberangkatan. Kalau pertama kali melihatnya mungkin akan bingung karena keterangannya ditulis dalam huruf kanji, tapi lama-lama akan terbiasa. Ah saran dari aku adalah pergunakan google maps semaksimal mungkin. Itu sangat-sangat membantu untuk melakukan perhitungan sebaiknya naik apa ketika akan pergi ke suatu tempat (apalagi kalau tidak bisa Bahasa Jepang, hahahaha).

………to be continued.



Comments

Popular posts from this blog

そして、生きる

di pagi buta ini aku kembali membaca tulisan yang aku buat pada bulan Desember tahun 2014. dimana Rangga bilang, aku adalah anak yang gigih, karena selalu melakukan sesuatu yang disukai dengan 1000% usaha. Rangga adalah awal.  Pemilik Nirmala adalah proses.  dan aku akan menentukan akhirnya. Philip Dormer Stanhope, Earl of Chesterfield once said,   "It's important to have the ability to distinguish between impossible and possible..." melepaskan dan merelakan bukan berarti kegagalan. melepaskan dan merelakan juga bagian dari belajar. keberanian memang dibutuhkan untuk tetap bertahan. hanya orang-orang gigih dan penuh tekad yang mampu bertahan. tapi keberanian juga dibutuhkan ketika merelakan dan bergerak maju.  tidak mudah untuk memutuskan mengambil satu dua langkah ke depan dari tempat awal bertahan. terutama ketika ada begitu banyak perjuangan dan usaha yang dikerahkan untuk sampai di tempat itu. ada kalanya kita harus menyadari kapan waktunya untuk bertahan dan kap...

untuk Dany di surga

ini sudah hampir seminggu setelah kepergianmu... takkan selamanya, tanganku mendekapmu. takkan selamanya, raga ini menjagamu. Seperti alunan detak jantungku, tak bertahan melawan waktu dan semua keindahan yang memudar atau cinta yang telah hilang... lagu ini.. lagu yang dimainin pas Kirana kemaren. Waktu semuanya belum berubah. Waktu aku masih bisa ngeliat kamu ketawa. You’re gone too soon dan... Rest In Peace Dany Candra Kurniawan.  “Mas Dany kecelakaan mbak pulang dari Kirana kemaren. Meninggal.....” DANY? Kamu beneran udah meninggal? Aku nggak percaya. Aku nggak mau percaya. Bilang kalo mereka semua bohong soal kamu Dan! Bilang ke aku itu semua cuma bohong! Kamu masih sehat kan? Kamu besok masuk sekolah kan? Kirana kemaren kamu masih ngobrol sama aku. Kamu masih minta difoto sama aku. Kok secepet ini? Aku nggak percaya. Aku belum mau percaya. Tolong bilang kalo semua ini bohong... Nanti nggak ada yang bilang, “aku kan kereeeen” lagi di kelas. Nggak...

pulang ke rumah

Rumah? Sebenernya apasih yang bisa disebut rumah itu. Bangunan beratap dengan kasur bantal dan guling di dalamnya? Atau apa? Sebenernya apa yang bisa dan layak aku sebut sebagai rumah? Kriteria apa yang memenuhi untuk kemudian bisa disebut rumah. Dan ketika aku bilang, “I wanna go home,” sebenernya ‘home’ seperti apa yang ingin aku tuju? Walaupun aku masih belum mampu menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri, aku rasa tidak semua tempat bisa disebut rumah, dan tidak semua tempat akan terasa seperti rumah. Dan aku pikir, kalian juga setuju. Masafin bilang, aku selalu susah buat diajak kumpul, merapat menuju keramaian dan gelak tawa. Masafin bilang aku ngga pernah berubah. Selalu aja bermasalah setiap ada kumpul-kumpul. Dia bilang aku selalu malas bersosialisasi, aku tidak mau hidup di luar duniaku, aku tidak mau berinteraksi selain dengan duniaku. Aku juga tidak tahu. Tidak tahu mungkin memang bukan jawaban yang diinginkan ketika ada pertanyaan. Tapi sejauh ini, a...