Skip to main content

ketika aku bicara tentang obsesi

Tolong dong, aku minta penjelasan yang scientific, kenapa sekarang aku menjadi semakin hobi melihat crane tower?

Pertanyaan itulah yang kemudian, tiba-tiba membuatku ingin menulis ini. Suddenly, I wanna talk about obsession.

Sebenernya, pingin banget ngelanjutin cerita tentang 1 bulan melelahkan yang seru di Jabodetabek, tapi ternyata melanjutkan cerita tentang itu bukanlah merupakan suatu hal yang mendesak. Karena pada kenyataannya, sepulang dari sana, aku kembali dihadapkan pada rutinitas ngelab, yang walaupun SKS sudah habis, tapi sekarang aku dibebani laporan kegiatan KL, draf seminar kelas dan tentu saja gongnya adalah skripsi. Aku terbebani oleh target yang aku buat sendiri dan semakin terbebani karena melihat teman-teman seperjuanganku sudah banyak yang menyandang gelar sarjana. Well, “aku kapan?”, pertanyaan itulah yang selalu dan terus menerus aku tanyakan tanpa tahu apa jawabannya.


Untuk menulis ini, aku mengistirahatkan sesaat laporan KL dan draf seminar kelasku, sementara. Karena ini harus sesegera mungkin dikeluarkan sebelum merusak kesadaran dan daya berpikir jernihku. Tidak menyelesaikan masalah memang, tapi setidaknya meringankan beban pikiran.


Semua orang pernah punya obsesi dan terobsesi, baik pada sesuatu atau seseorang. Pun aku demikian.


Mau sedikit banyak cerita tentang bagaimana saat ini aku tengah terobsesi pada sesuatu karena seseorang. Belum lama kenal memang, tapi entah kenapa dia mampu membangkitkan mimpi-mimpi lama yang tidak tergapai karena ketidakberanianku untuk memperjuangkan mimpiku. Kemudian mimpi-mimpi itu membuatku menjadi terobsesi padanya. Dan kalau bicara tentang obsesi, aku selalu berlebihan, aku selalu tidak mampu mengontrol kesadaranku, aku selalu mencari pembenaran atas semua yang aku lakukan.


Aku pernah terobsesi pada seseorang yang mampu bermain gitar. Tidak melulu gitaris. Tapi memang kebanyakan berakhir pada gitaris. Sampai detik ini pun masih sebenarnya, hehe. And yes, I talked about my past, then. 


Saat ini, kebetulan aku menjadi kembali terobsesi pada pembangunan infrastuktur, pada ilmu-ilmu yang mendasarinya, dan pada orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Aku dari jurusan mikrobiologi, lalu buat apa aku tertarik pada hal-hal seperti itu? Kamu pindah haluan, Nat? Itulah yang ditanyakan temanku ketika aku meminta materi terkait teknologi beton dari basic sampe advanced padanya. Tidak. Aku tidak ingin pindah haluan. Atau lebih tepatnya, terlambat untuk pindah haluan. Aku sudah semester akhir, bos. Dan untuk mencapai titik ini membutuhkan pengorbanan dan perjuangan penuh tetesan keringat, air mata, dan darah. Lantas tidak serta merta aku segampang itu pindah haluan, terutama hanya karena perseorangan.


Kamu ini anak mikrobiologi apa anak sipil sih, Nat? sekarang soal sipil melulu omongannya, protes temanku suatu hari. Karena aku punya beberapa teman yang luar biasa disana, hehe, kataku tersenyum penuh rasa kebanggaan.


Oh iya. Sedikit penjelasan. Obsesi ini hadir berkat 2 bulan penuh kenangan yang aku habiskan di sebuah kepulauan bernama Bangka Belitung. Disana aku mengenal beragam orang dengan kepribadian yang berbeda pula. Dan karenanya, aku mengenal seseorang. Seseorang dengan passion dan totalitasnya yang luar biasa. Yang dari semua tentangnya, membuatku kagum. 2 bulan itu menciptakan sebuah kebiasaan baru padaku, yang kemudian menggiringku pada obsesi ini. Entah apa yang telah dilakukan orang ini, sampai boleh dibilang, aku bisa kembali terobsesi pada semua hal tentang infrastuktur ya.... karena orang ini.

Kamu pernah menyesal ngga sih kenapa kamu ambil jurusanmu sekarang?, tanyaku padanya. Nope, I’m proud of it, jawabnya tegas.


Karena obsesi itulah, aku kegirangan setengah mati ketika menjadi anak lapangan sewaktu KL. Karena aku ditempatkan seruangan dengan bagian operator dan maintenance produksi, aku menjadi berkenalan dengan structural drawing, process and instrumental design, maintenance, dan hal-hal yang banyak dilakukan orang-orang berlatar belakang teknik. Aku memang tidak tahu-menahu soal itu karena aku tidak ada basic di bidang itu, tapi rasanya seneng aja. Iya, seneng banget! Terutama karena peraturan Departemen HES (Health, Environment and Safety) mewajibkan pekerja memakai helmet, safety vest, dan safety shoes ketika memasuki areal produksi. Wah udah kaya anak teknik sipil aja ya, kataku bangga. Yaela, ini mah namanya APD, Nat, alat perlindungan diri, ga harus jadi anak teknik sipil dulu baru pake ginian, kata temanku. Oh, thanks infonya, sob!


Atas dasar obsesi itu juga, aku menantang diriku mencari topik permasalahan tentang disiplin ilmuku yang berkaitan dengan disiplin ilmunya. Selain sebagai ajang pembuktian bahwa disiplin ilmuku benar-benar dibutuhkan pada berbagai bidang, tapi juga sebagai caraku untuk menjaga api obsesi ini tetap menyala.
Aku gila.
Iya, aku gila.
Aku sudah jadi gila.
Ketika kebanyakan teman-temanku mencari topik permasalahan yang berkaitan dengan pangan, pascapanen, remediasi lingkungan, pertanian, bioinformatika, dan molekuler, aku malah nyeleneh mengambil topik yang berkaitan dengan infrastuktur dan konstruksi bangunan.  



2 bulan itu sudah lama berlalu memang. Tapi semua kenangan itu masih membekas indah dalam ingatan. Terutama tentang orang itu. Aku ingin berhenti. Semua yang aku lakukan ini tidak bisa dibilang benar. Semua ini semu, tidak nyata. Tapi aku tidak bisa berhenti. Meskipun kamu berusaha membuatku berhenti, tapi kurasa akulah permasalahannya. Aku tidak bisa berhenti. Aku tidak ingin berhenti. Aku ingin obsesi ini terus membakarku, hingga mungkin akhirnya akan padam dengan sendirinya, entah kapan. Suatu saat nanti.



Sudah puluhan web, video, jurnal bahkan buku tentang teknologi beton yang aku lihat, yang aku baca. Tidak semua aku pahami. Ada begitu banyak istilah yang terlalu teknis yang I have no idea, sama sekali. Tapi aku akan berusaha memahaminya.
Demi “Nadia Maret Seminar Kelas”,
demi menuntaskan mata kuliah Seminar 1/0 SKS,
dan demi menghidupi obsesiku.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

canggung

Ternyata adanya jarak dan waktu yang mengisi kekosongan bisa menciptakan emosi yang dinamakan canggung. Aku sebenernya nggak tau sih, apakah canggung ini bisa dikategorikan sebagai bentuk emosi. Tapi ya, menurutku termasuk, karena melibatkan perasaan dan pemikiran. Hati dan otak turut serta dalam membentuk suasana ini. Aku pernah punya teman-teman akrab. Akrab sekali. Sampai semua hal aku ceritakan. Sampai tidak ada hal yang terlewatkan untuk aku sampaikan. Akrab sekali sampai hampir selalu bersama. Tapi kemudian terpisah dan berakhir canggung ketika akhirnya bertemu kembali. Jarak yang membentang mengisi kekosongan dan muncullah rasa itu. Canggung. Dulu, sih, inner circle. Sekarang?  Mohon maaf. あのう、すみませんが、今ちょっと…。 違うよ! Aku tidak menyalahkan jarak. Karena jarak sebenarnya tidak akan berarti jika diisi dengan komunikasi yang baik. Tapi aku tidak pandai menjaga komunikasi. Satu per satu teman akrab berakhir menjadi teman yang pernah akrab. Kalo lagi senggang aja bar...

Rangga Adriatmoko

Cause as long as you keep it as a secret, it’s gonna be okay... Aku melihatmu mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna merah-hitam-putih, celana jeans hitam serta sepatu kets putih dan menenteng sebuah gitar listrik. Sepertinya, kamu sedang bersiap-siap untuk naik ke atas panggung.  Aku terpaku.  Ah, kamu tampak begitu tampan.  Kau tampaknya memang bukanlah sosok yang pantas untuk diabaikan. Dan aku, tak sedikitpun mengalihkan padanganku ke arah lain selain ke arahmu. Tak peduli seramai apa suasana disini, yang aku ingin hanyalah memandangmu.  Iya, cukup kamu. Tepuk tangan riuh mengakhiri penampilanmu yang memukau itu. Semua penonton bersorak-sorai meneriakkan namamu. Dari atas panggung itu, kulihat kamu tersenyum, tersenyum manis sekali. Aku menatapmu lama.  Pikiranku sepenuhnya tersedot oleh asa tentangmu.  Aku terhipnotis.  Kamu tahu, bagiku, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan ini. Bahkan hingga kamu meletakkan gitarm...

semua akan ada waktunya

When you feel exhausted, don't hold back, it's okay to be down -orange- Sedang musimnya tertekan dan depresi melihat teman-teman seangkatan satu per satu mulai menyelesaikan kewajibannya di kampus. Sedang musimnya iri melihat raut bahagia teman-teman yang berhasil menanggalkan status mahasiswanya. Sedang musimnya mengeluh dan sambat karena penelitian dan skripsi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sedang musimnya muak akan pertanyaan "semester berapa" "kapan sidang" "kapan wisuda"