Skip to main content

takdir, katanya






yap. takdir, katanya.




kadang bertanya-tanya kenapa dulu aku begitu yakin memilih mikrobiologi walaupun hasrat dan impian sejak kecil jadi arsitek. kenapa dulu hanya memilih mikrobiologi tanpa sekalipun terpikir untuk berani mengambil resiko mencoba teknik arsitektur.








jadi, mari kita bermain-main dengan "what if".















bagaimana jika dulu ternyata aku memilih teknik arsitektur alih-alih mikrobiologi. dan diterima. maka aku akan menjadi bagian dari KMFT. menjadi bagian dari Klaster Insfrastuktur. menjadi bagian dari KMTA. aku akan berada dalam hiruk-pikuk nyanyian Supersonik saat Porsenigama dimulai. aku akan bersorak-sorak bersama yang lain "Demi birunya lautan dan kuning keemasannya mentari pagi, Teknik Jaya! Teknik Jaya! Teknik! Teknik! Teknik! Jaya! Jaya! Jaya!". aku akan lebih mudah mencari referensi di toko-toko buku. aku akan dapat dengan mudah menjawab pertanyaan orang jika ditanya dari jurusan apa.




It's all about "Pride and Prestige".




itulah mengapa kenapa teknik dan kedokteran masih dan selalu menjadi kebanggaan. bagi orang tua, terutama. itulah mengapa aku masih merinding, setiap kali melewati gerbang utama Universitas Gadjah Mada.




itulah mengapa yang bukan teknik, masih mengaku-ngaku teknik.

itulah mengapa yang bukan kedokteran, masih mengaku-ngaku kedokteran.




"dari jurusan apa?"

"kedokteran.... kedokteran tanaman"
"bilang aja pertanian, bos. duh".




"dari jurusan apa?"
"teknik....teknik memahami manusia"

"bilang aja psikologi, bos. duh".


aku ingin dengan lantang menjawab, "aku dari mikrobiologi, and I'm so proud of it", seperti nada tegas yang diucapkan Kipran waktu kutanya soal Teknik Sipil.



takdir, katanya.

iya.
tidak, aku tidak menyesal, lho.

sungguh.


buat apa menyesal?
sudah terlambat untuk menyesal.
ya walaupun sudah 7 semester aku bernafas dengan pilihanku, terkadang masih sulit untuk berdamai dengan diri sendiri, ya.




ya sudah, yang berlalu biarlah berlalu, yang terpenting apa yang sedang aku hadapi.
semangat penelitian, Nanat!

Comments

Popular posts from this blog

canggung

Ternyata adanya jarak dan waktu yang mengisi kekosongan bisa menciptakan emosi yang dinamakan canggung. Aku sebenernya nggak tau sih, apakah canggung ini bisa dikategorikan sebagai bentuk emosi. Tapi ya, menurutku termasuk, karena melibatkan perasaan dan pemikiran. Hati dan otak turut serta dalam membentuk suasana ini. Aku pernah punya teman-teman akrab. Akrab sekali. Sampai semua hal aku ceritakan. Sampai tidak ada hal yang terlewatkan untuk aku sampaikan. Akrab sekali sampai hampir selalu bersama. Tapi kemudian terpisah dan berakhir canggung ketika akhirnya bertemu kembali. Jarak yang membentang mengisi kekosongan dan muncullah rasa itu. Canggung. Dulu, sih, inner circle. Sekarang?  Mohon maaf. あのう、すみませんが、今ちょっと…。 違うよ! Aku tidak menyalahkan jarak. Karena jarak sebenarnya tidak akan berarti jika diisi dengan komunikasi yang baik. Tapi aku tidak pandai menjaga komunikasi. Satu per satu teman akrab berakhir menjadi teman yang pernah akrab. Kalo lagi senggang aja bar...

semua akan ada waktunya

When you feel exhausted, don't hold back, it's okay to be down -orange- Sedang musimnya tertekan dan depresi melihat teman-teman seangkatan satu per satu mulai menyelesaikan kewajibannya di kampus. Sedang musimnya iri melihat raut bahagia teman-teman yang berhasil menanggalkan status mahasiswanya. Sedang musimnya mengeluh dan sambat karena penelitian dan skripsi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sedang musimnya muak akan pertanyaan "semester berapa" "kapan sidang" "kapan wisuda"

Rangga Adriatmoko

Cause as long as you keep it as a secret, it’s gonna be okay... Aku melihatmu mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna merah-hitam-putih, celana jeans hitam serta sepatu kets putih dan menenteng sebuah gitar listrik. Sepertinya, kamu sedang bersiap-siap untuk naik ke atas panggung.  Aku terpaku.  Ah, kamu tampak begitu tampan.  Kau tampaknya memang bukanlah sosok yang pantas untuk diabaikan. Dan aku, tak sedikitpun mengalihkan padanganku ke arah lain selain ke arahmu. Tak peduli seramai apa suasana disini, yang aku ingin hanyalah memandangmu.  Iya, cukup kamu. Tepuk tangan riuh mengakhiri penampilanmu yang memukau itu. Semua penonton bersorak-sorai meneriakkan namamu. Dari atas panggung itu, kulihat kamu tersenyum, tersenyum manis sekali. Aku menatapmu lama.  Pikiranku sepenuhnya tersedot oleh asa tentangmu.  Aku terhipnotis.  Kamu tahu, bagiku, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan ini. Bahkan hingga kamu meletakkan gitarm...