Ide tulisan ini bermula dari semakin maraknya pemberitaan intoleransi beragama dan lain lainnya pada berbagai media sosial, baik cetak maupun elektronik. Apabila ada yang berpendapat bahwa menulis adalah hal yang mudah, sesungguhnya mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang sok tau yang berpikiran sempit. Tulisan ini sebenarnya adalah penggabungan antara paper mata kuliah pendidikan agama Islam yang sempat dikumpulkan sebagai tugas untuk ujian akhir semester kemarin, pesan broadcast salah satu teman di grup sosial media dan pemikiran pribadi. Sesungguhnya tulisan ini tidak berniat mendukung atau menjatuhkan golongan-golongan tertentu. Dibanding tulisan-tulisan sebelumnya (yang isinya hanya keluhan-keluhan anak remaja alay yang penuh drama), mungkin tulisan ini agak berbobot (sedikit).
Menurutku, benar jika beragama pada
era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri karena selain dihadapkan pada
semakin banyaknya prespektif pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama
tertentu di satu sisi, di sisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas
beragama di tengah agama orang lain. Dari realitas yang semakin mengglobal
tentang agama dan beragama yang berpadu dengan cepatnya perkembangan IPTEKS
dalam berbagai prespektif yang multi-dimensional mengakibatkan semakin
beragamnya pemahaman beragama yang semakin lama semakin dinamis.
Kebetulan, tentunya ini bukan karena keinginanku tapi atas permintaan (atau lebih tepatnya paksaan) dari Ayah, aku akhirnya memutuskan bergabung dengan salah satu organisasi mahasiswa Islam tertua di
Indonesia, yang saat ini telah memiliki ribuan kader dengan lebih dari 200 cabang yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dari semua organisasi mahasiswa Islam di Indonesia, menurutku organisasi ini memberi kebebasan
bagi anggotanya untuk memilih berbagai pemahaman Islam tanpa ada unsur paksaan
untuk mengikuti pemahaman Islam tertentu.
Untuk meningkatkan keimanan dan
pengetahuan anggotanya mengenai ajaran-ajaran Islam, Organisasi ini banyak mengadakan
berbagai diskusi terkait topik-topik yang menjadi banyak perbincangan di
masyarakat. Diskusi ini termasuk ke dalam kegiatan keberagaman yang dilakukan
di masyarakat karena diskusi yang dilakukan tidak hanya diperuntukkan bagi
anggotanya saja, melainkan terbuka pula untuk umum. Topik yang diangkat tidak hanya tentang Keislaman, tetapi juga Kemahasiswaan, Keindonesiaan dan Politik juga termasuk di dalamnya. Tapi karena tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau perpolitikan, aku tidak pernah datang.
Aku bersikap pasif dan cenderung apatis terhadap sekitarku. Sikap pasif dan apatisku ini menurutku adalah sikap terbaik yang bisa aku lakukan. Dengan berbagai pemikiran dan pembenaran yang aku pahami dan aku yakini sendiri. Ketika perang dingin berlangsung, dunia terbagi menjadi blok barat dan blok timur dan Indonesia memutuskan tidak mengikuti keduanya (non-blok), kenyataannya tindakan non-blok itu sendiri tanpa disadari merupakan pembentukan blok baru. Ketika suasana di kampus sedang ramai dengan isu pemboikotan BEM KM, aku tenang-tenang saja, bersikap seolah tidak ada apa-apa. Aku berusaha bersikap netral dengan tidak mengikuti kubu manapun, baik yang pro maupun yang kontra. Tetapi mungkin sikap netralku ini dinilai sebagian orang sebagai ketidakpedulian. Ya bisa jadi, tapi tidak sepenuhnya seperti itu. Sehingga menurutku, mereka yang menganggapku tidak peduli terhadap nasib kampusnya sendiri, mereka adalah orang dengan pikiran yang terlalu pendek.
Permasalahan yang banyak terjadi di
masyarakat ketika diadakan suatu kegiatan adalah kurangnya minat
dan antusiasme masyarakat untuk mengikuti kegiatan tersebut. Diperlukan adanya
sedikit unsur pemaksaan sehingga masyarakat mau untuk turut serta dalam
kegiatan tersebut. Hal ini dapat dicontohkan dalam kegiatan diskusi di kampus. Mahasiswa akan merasa dituntut untuk datang pada kegiatan diskusi
tersebut apabila pihak akademik mengumumkan bahwa kegiatan diskusi tersebut
diwajibkan bagi mahasiswa dan akan diperhitungkan di dalam buku absensi.
Permasalahan seperti ini juga terjadi pada organisasi yang aku ikuti ini. Sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam tertua, ternyata juga mengalami permasalahan yang sama seperti ini. Banyak
anggota yang setelah dinyatakan lulus sebagai kader kemudian justru
“hilang” dan tidak menjadi anggota yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Hal ini terlihat dari sedikitnya partisipan yang hadir ketika suatu
diskusi diadakan.
Atau dengan menggunakan alasan kurangnya SDM yang terjadi dalam suatu organisasi, maka organisasi tersebut membuat suatu kebijakan tidak tertulis yang mewajibkan anggotanya otomatis menjadi pengurus organisasi tanpa mengindahkan apakah mereka mau ataupun tidak untuk menjadi pengurus. Manusia sekarang semua hal memang harus dipaksa, lebih mudah mengajarkan sesuatu kepada hewan ketimbang manusia. Ironi sekali karena manusia adalah makhluk yang paling mulia yang dikaruniai akal pikiran.
Atau dengan menggunakan alasan kurangnya SDM yang terjadi dalam suatu organisasi, maka organisasi tersebut membuat suatu kebijakan tidak tertulis yang mewajibkan anggotanya otomatis menjadi pengurus organisasi tanpa mengindahkan apakah mereka mau ataupun tidak untuk menjadi pengurus. Manusia sekarang semua hal memang harus dipaksa, lebih mudah mengajarkan sesuatu kepada hewan ketimbang manusia. Ironi sekali karena manusia adalah makhluk yang paling mulia yang dikaruniai akal pikiran.
Dalam broadcast di salah satu grup sosial media, ada yang berkata kira-kira seperti ini "Setinggi apapun gelar pendidikan yang kamu dapat dengan bermartabat, ketika kamu menanyakan alasan sahabatmu yang melepas jilbab, kamu akan dianggap tidak berpikiran terbuka. Seluas apapun kamu bergaul dengan teman lintas agama, ketika kamu menanyakan alasan temanmu yang berpindah agama, kamu akan dinilai tidak menerimanya apa adanya. Sebanyak apapun prestasi mutakhir yang kamu peroleh di bidang profesionalmu, ketika kamu berbincang perihal penerapan nilai-nilai agama untuk kehidupan, kamu akan disebut fundamentalis yang kolot. Maka kamu memilih untuk diam. Untuk tidak banyak berkomentar pada setiap permasalahan umat, terlebih yang melibatkan agam. Untuk menjadi netral demi tidak dicap konservatif, fundamentalis, apalagi pro-teroris. Bahkan kamu pun takut untuk belajar agama lebih rajin. 'Yang biasa-biasa ajalah, nanti dikira fanatik!, katamu".
Wah setelah membaca pesan broadcast tersebut, aku rasanya seperti ditampar dengan sangat keras. Karena ya, sejujurnya, ketakutan yang aku rasakan ketika bergabung dengan organisasi ini adalah aku takut dinilai sebagai penganut Islam yang fanatik yang sangat fundamental, yang kekiri-kirian, atau bagaimanapun kalian menyebutnya. Ketika aku bercerita tentang keputusanku untuk bergabung dengan organisasi ini, beberapa temanku kaget, bahkan mereka memperingatkanku, "Awas kamu didoktrin sama mereka, Nad!". Well, generasi muda saat ini, terutama mahasiswa, kebanyakan kurang tertarik terhadap kegiatan keagamaan karena dirasanya terlalu membosankan. Semakin berkembangnya banyak pemahaman tentang ajaran Islam yang tidak dapat diketahui pemahaman tersebut benar atau termasuk ke dalam aliran sesat juga membuat mahasiswa muslim menjadi pemilih dan cenderung apatis terhadap kegiatan keberagamaan. Mereka lebih banyak berada di kampus, memilih untuk mengikuti organisasi intrakampus atau mengerjakan tugas-tugas dari dosen, beberapa lagi lebih tertarik terhadap kegiatan di luar kampus yang cenderung mengarah kepada hura-hura dan kesenangan jangka pendek. Mahasiswa muslim cenderung memilih bermain aman dan memilih pemahaman yang mereka yakini sendiri, daripada mengikuti suatu kegiatan keberagamaan yang akan membuka kesempatan mereka terseret ke dalam suatu pemahaman tentang ajaran islam yang terlalu fanatik dan mengarah kepada doktrin sesat dan hal-hal lain yang semacamnya. Baik, sebenarnya kalimat terakhir barusan adalah pendapatku pribadi. Ketika mereka menganggap mengikuti sebuah organisasi Islam dengan pemahaman-pemahaman tertentu dapat menciptakan individu yang terlalu fundamentalis dan cenderung mengarah kesesatan, maka mereka termasuk orang-orang yang berpikiran pendek.
Namun, tidak sedikit pula mahasiswa yang cukup konsisten dalam mengikuti berbagai kegiatan keberagamaan. Sebagian besar mahasiswa di kampusku adalah mahasiswa perantau yang berasal dari luar Yogyakarta, membuat kebanyakan mahasiswa muslim yang jauh dari keluarganya butuh untuk memperkuat pemahamannya mengenai Islam untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa muslim dipaksa untuk memilih pemahaman Islam yang menurutnya benar diantara semakin banyaknya pemahaman-pemahaman dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat ditentukan kebenaran ataupun keabsahannya. Tidak dipungkiri pula bahwa tingkat pengetahuan agamaku yang masih cetek, sehingga aku juga membutuhkan tuntunan, kan. Ketika aku bercerita ada temanku yang memutuskan menggunakan cadar, dan aku menghubungkan cadar dengan hal-hal yang terlalu fanatik, aku dinilai sebagai orang yang berpikiran pendek.
Menurut pendapat banyak orang, mereka yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang keren adalah yang nilai IPKnya cumlaude, yang aktif berorganisasi baik intra maupun ekstrakampus, yang menjuarai berbagai lomba, yang kuliah di jurusan teknik atau di kedokteran, dan lain-lain. Sehingga ketika ditanya orang di jalan, "Kuliah dimana?", "UGM", "Wah, pinter ya berarti", padahal kenyataannya, aku hanya partikel-partikel virus yang sudah kehilangan kapsidnya sehingga kehilangan sifat virulennya (re: virus yang tidak berarti). Aku hanyalah mahasiswa biasa-biasa saja yang bersembunyi di bawah nama besar UGM. "Kuliah di jurusan apa?" "Mikrobiologi" "Apa itu? Kerjanya nanti ngapain?". Aku hanya ber-hmmm, berusaha memilah kata-kata penjelasan tentang Mikrobiologi yang dapat dengan mudah dipahami orang-orang awam. Karena tidak mungkin jika aku menjelaskan bagaimana genome editing, era-omic, rekayasa metabolik, NGS, artificial bacteria, dan lain-lain yang tentunya akan membuat orang bingung. Dan ketika ditanya kerjanya nanti ngapain, oh, sejujur-jujurnya aku juga tidak tau akan kerja dimana aku dan sebagai apa aku nantinya di masa depan. IPK mungkin tidak akan menentukan masa depan seseorang, karena sudah banyak pembuktian bahwa orang-orang sukses tidak selalu dengan nilai IPK yang cumlaude. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kamu juga menyadari bahwa yang IPKnya cumlaude aja belum tentu hidup dan karirnya sukses, apalagi yang IPKnya nggak cumlaude. Yah, sejauh ini, pokoknya orang keren adalah yang kampusnya prestisius, pencapaian akademiknya oke, lulus cepat, IPK cumlaude dan begitu lulus langsung dapet kerja. Jadi ketika ada yang tidak kuliah di kampus yang beken, atau yang lulusnya butuh belasan semester, atau yang IPKnya tidak cumlaude atau yang tidak dapat kerja sesuai bidang ilmunya adalah orang-orang yang tidak keren. Atau ketika ada yang keluar ruang ujian lebih dulu lalu selalu dianggap anak pintar atau ketika seseorang menjalani tahun baru tanpa resolusi dianggap sebagai orang tanpa tujuan. Nah mereka yang berpendapat seperti itu, menurutku, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berpikiran pendek pula.
Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan atas mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
Comments
Post a Comment