Skip to main content

for the better world

“tau mbah-mbah yang jual gudeg di pinggir jalan kalo mau ke asrama nggak?”
“iya tau”
“bukan yang arah ke ringroad itu, arah sebaliknya. Yang deket apotik gejayan itu”
“iya tau. Kenapa?”
“aku kasian kalo liat”
“lah, kasian kenapa?”
“iya, yang beli cuma dikit”
“lah kan namanya juga jualan kan”
“iya tapi ibu-ibu di seberangnya pembelinya banyak”
“ya salah siapa mbahnya jualannya di sebelah situ kan”
“ya tapi ndak tega aja gitu liatnya. Biasanya kan kalo orang jual gudeg gitu jam 10-11an udah nutup kan soalnya dagangannya abis. Lah itu mbahnya kalo tak perhatiin ben aku ke asrama, jam 1-an itu masih tetep jualan. Kan kasian”
“lah kamu sendiri kok ndak beli?”
“ndak berani..”

Kadang suka nggak suka setiap liat kejadian semacam ini. Ketika kehidupan orang di sekitarmu rasanya udah kaya bumi dan langit. Ada yang tiap beli sepatu langsung bayar cash, padahal ada temennya yang cuma bisa ngeliatin doang. Atau ada yang sampe nyari makanan di tempat sampah, padahal ada yang beli makanan selalu banyak dan berlebih sampe dibuang-buang.

Ada yang kuliah dikasih fasilitas mobil hape bagus kost-an elit tapi kuliahnya sering TA, padahal ada yang setiap hari bolak-balik kampus jalan kaki jauh demi buat dapet ilmu. Kadang juga, kalo dipikir-pikir, aku nggak pernah bisa paham soal beginian. Semuanya terlalu kontras. And i really hate this kind of pain. So much hate this kind of pain. Kenapa sih harus ada yang kaya gini? Supaya seimbang? Iya supaya seimbang tapi kenapa yang berkecukupan kadang nggak sadar diri dan sok-sok nggak berkecukupan? Masa nggak ngeliat gimana mirisnya keadaan di sekitarnya? Itu memang buta atau sengaja membutakan diri?

Aku pingin bisa ngebenerin apa yang nggak bener disini.

Aku bener-bener bisa pengen ngebenerin apa yang nggak bener disini.


Setiap selasa malam, IKPMJ biasanya muterin jogja buat berbagi nasi ke tuna wisma yang tidur di emperan-emperan toko. Dulu aku suka mager kalo acara ginian, ikut doang cuma gegara pingin keluar malem. Dah. Itu doang. Tapi trus waktu itu pertama kali jogja turun ujan setelah sekian bulan dilanda musim kering yang sungguh sangat panas. Dan datangnya hujan bikin bersyukurnya jadi berlipet-lipet. Dan mengakibatkan mager yang semakin parah. Tapi trus mas safin bilang, “kamu nggak kasian apa sama mereka yang sekarang lagi kedinginan tiduran di pinggir jalan sama kelaperan? Kamu enak disini kasurnya empuk anget selimutan. Lah mereka? Nggak kasian kamu sama mereka? Ayo ikut bagi nasi!”. Jadinya tetep berangkat bagi nasi walau tengah malem hujan deres campur petir dan paginya badan greges.

Tapi kadang, separuh hatiku itu nggak suka ada acara berbagi nasi kaya gini. Karena nggak semua yang kita kasih nasi bungkus bener-bener butuh nasi bungkus. Beberapa malah sebenernya cuma ikut duduk-duduk disitu dan waktu kita ngebagiin nasi, mereka ikut minta, bahkan ada yang nadanya memaksa. Kadang juga separuh hatiku nggak suka ada acara berbagi nasi kaya gini. Pernah tau ada baliho sama propaganda-propaganda yang disebar pemerintah di jalan raya, terutama di lampu merah? Gimana pemerintah melarang keras kita buat ngasih mereka uang buat para pengemis dan gelandangan di jalan. Karena seharusnya kalo kita mau ngebantu mereka, bukan dengan ngasih mereka yang bececeran di jalan uang, tapi bisa disalurkan lewat organisasi sosial pengabdian masyarakat. Ngasih mereka yang minta-minta di jalan buat aku sama sekali nggak mendidik mereka buat jadi lebih baik. Beberapa yang minta-minta masih kuat buat kerja, tapi kenapa ngemper di jalan raya? Nggak malu sama mbah-mbah yang udah tua yang masih berusaha bekerja, kaya mbah-mbah yang jualan gudeg tadi misalnya? Nggak malu sama mbah-mbah yang jualan anyaman bambu sampe tidur di jalanan waktu nungguin dagangannya? Aku tercabik-cabik setiap liat yang kaya gini. Nggak tau mau nulis kaya gimana lagi supaya apa yang nggerundel di pikiran bisa keluar semua lewat postingan ini.

Aku pingin bisa ngebenerin apa yang nggak bener disini.

Aku bener-bener bisa pengen ngebenerin apa yang nggak bener disini.


Dulu waktu kecil, aku sempet bercita-cita jadi presiden. Bukan biar bisa jadi orang nomer satu dan berkuasa di Indonesia, tapi yang ngebuat aku pingin jadi presiden itu setiap ngeliat orang semacam mbah-mbah yang jual gudeg tadi, atau mbah-mbah yang rela jalan kaki jauh buat ngejual pisang atau mbah-mbah yang tidur di emperan jalan nungguin dagangannya laku, atau waktu ngeliat mereka yang nggak mampu harus tidur di emperan toko dan kedinginan, aku pingin jadi presiden buat ngesejahterain orang-orang kaya mereka. aku juga pernah mendeklarasikan cita-citaku yang pingin jadi arsitek. Setiap ditanya kenapa pingin jadi arsitek? Jawabanku selalu sama, supaya bisa ngebangun rumah-rumah susun buat mereka yang nggak punya rumah.

Dan kalo inget itu semua, aku jadi merasa ketampar. Betapa polos dan jujurnya jawaban seorang anak kecil, dan apa kita yang udah besar udah dewasa udah melek dunia gini nggak merasa kesindir setiap ngelakuin hal dan nggak pernah nunjukin sedikitpun rasa syukur dan terimakasih?

Sekarang aku sudah besar.

Dan keinginan itu masih ada. Tapi apa harus jadi presiden dulu baru mau nyejahterain mereka? tapi apa harus jadi arsitek dulu biar bisa ngebangun rumah buat mereka?


Jawabannya enggak.



Aku pingin jadi kaya ayah sama ibu. Yang bisa nyisihin sebagian rejekinya buat mereka yang nggak mampu. Yang bisa ngasih tenaganya buat nolong mereka yang kurang beruntung dari kami.





Aku ingin menyejahterakan negaraku. Wanna join?

Comments

  1. Nice...
    Salut !!
    Lanjutkan, semoga saya masih ada untuk melihat anda melakukan niat baik itu. Jika tidak langsung sekalipun, setidaknya semoga amsih bisa lewat postingan anda kelak :)

    ReplyDelete
  2. Karena kamu bisanya saat ini cuman ngasih recehan ke pengemis (entah palsu atau bukan krn sama" g kliatan) Nad, ya kasih saja.
    Bisa kamu kasih mereka pkerjaan ?
    Bisa kamu kasih mereka tunjangan ? hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

ingin berhenti

Tulisan pertama di tahun 2020 berisikan tentang luapan amarah yang tidak pernah tersampaikan kepada yang bersangkutan, tentang harapan yang entah kapan akan terwujudkan, tentang keputusasaan dan ketidakpercayaan diri yang terakumulasi dengan sangat baik. Aku marah kepada dunia. Aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa sih manusia selalu SARA. Lemah lalu menyalahkan gender. Umur lantas menentukan bagaimana bersikap. Dan lain-lain.. Kalau lemah, ya lemah aja. Jangan bawa-bawa “aku kan cewek” untuk membenarkan ketidakberdayaan. Kalau memang enggan, ya bilang tidak mau, jangan bawa-bawa “bukan umurku melakukan ini”. Kalau tidak tahu diri, ya jangan bawa-bawa “aku sudah tua, kamu harus menghormati dan menurutiku. Aku berhak memerintahmu” untuk membenarkan kesemena-menaan. Kalau tidak tahu malu, ya jangan bawa-bawa "Aku kan bukan orang jawa" untuk memenuhi keegoisan. Ada batasannya. Garis batas yang begitu tipis.

2020: Penutup

Everyone carries their own burdens. Aku pikir bukan hanya aku, tapi semua orang juga merasakan, bahwa tahun ini adalah tahun yang cukup sulit. Setiap orang berusaha sangat keras dengan kemampuannya masing-masing untuk tetap hidup dan bernafas.  Aku ingin bercerita. Membagi kisah. Membagi beban. Tapi aku pikir aku tidak pantas mengeluh pada orang lain ketika orang lain juga memiliki kisah dan beban. Aku mencoba menahan diri agar tidak mengeluh, karena semua orang juga memiliki keluhannya masing-masing, bahkan lebih berat daripada milikku.  Aku pikir aku adalah orang yang mampu bertahan dengan sangat baik. Aku pikir aku adalah orang yang cukup lihai untuk beradaptasi dengan keadaan sulit. Aku pikir aku akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Aku tidak baik-baik saja. Cukup banyak aku menangis, sampai kering air mataku. Aku pikir setelah tangisanku berhenti, aku akan kembali baik-baik saja.  Tapi ternyata tidak.  Aku sudah berteriak penuh amarah, sampai kering tenggorokank...

no, you're not alone

The problem is you wanna be alone, but you don’t wanna be lonely. Ada saat-saat dimana aku ingin menarik diri dari kehidupan sosial yang penuh dengan kepalsuan, lalu memilih menghabiskan waktu seorang diri. Bersenang-senang dengan dunia fantasiku sendiri lebih membahagiakan daripada harus mengenakan topeng dan berpura-pura ramah kepada semua orang. Tetapi di saat itu pula aku ingin ada seseorang yang mendekatiku dan bertanya, “ada apa?” “kamu kenapa? Sini cerita” kepadaku yang skeptis dan overthinker ini. Tentu saja aku tidak akan langsung serta-merta menceritakan semua yang mengganggu dan memenuhi pikiranku. Tentu saja pula aku akan menjawab “aku tidak apa-apa” kepada seseorang yang telah merelakan detik berharganya untuk bertanya bagaimana keadaanku. Ketika sekolah menengah pertama, aku mengenal seseorang. Selama tiga tahun berturut-turut kami ada di kelas yang sama. Aku bahkan menangis haru ketika upacara pelantikannya sebagai ketua OSIS saat...