The problem is you wanna be alone, but you don’t wanna be lonely.
Ada saat-saat dimana aku
ingin menarik diri dari kehidupan sosial yang penuh dengan kepalsuan, lalu memilih
menghabiskan waktu seorang diri. Bersenang-senang dengan dunia fantasiku
sendiri lebih membahagiakan daripada harus mengenakan topeng dan berpura-pura
ramah kepada semua orang.
Tetapi di saat itu pula
aku ingin ada seseorang yang mendekatiku dan bertanya, “ada apa?” “kamu kenapa?
Sini cerita” kepadaku yang skeptis dan overthinker ini. Tentu saja aku tidak
akan langsung serta-merta menceritakan semua yang mengganggu dan memenuhi
pikiranku. Tentu saja pula aku akan menjawab “aku tidak apa-apa” kepada
seseorang yang telah merelakan detik berharganya untuk bertanya bagaimana
keadaanku.
Ketika sekolah menengah
pertama, aku mengenal seseorang. Selama tiga tahun berturut-turut kami ada di
kelas yang sama. Aku bahkan menangis haru ketika upacara pelantikannya sebagai
ketua OSIS saat itu. Aku mungkin sudah pernah menceritakan ini dan mungkin
tulisan ini akan terasa repetitif. Kami kemudian terpisah selama sekolah
menengah atas, karena dia menempuh studinya di luar kota, dan kami dipertemukan
kembali ketika menempuh studi di perguruan tinggi yang sama. Saat itu aku pikir
aku sudah betul-betul mengenalinya. Tapi ternyata tidak. Aku tidak mengenalnya
dengan baik, sama sekali. Tiga tahun tanpa kontak cukup untuk membuat semua
yang pernah aku ketahui tentang dia berangsur-angsur menghilang. Hal ini cukup
masuk di akal karena, jangankan untuk mengenal orang lain, untuk mengenal diri
sendiri saja aku masih tidak bisa.
Tapi entah kenapa, aku
merasa, sampai detik aku menulis ini, hanya dia yang selalu tepat sasaran
melepas panah kepadaku yang sedang tidak baik-baik saja. “kamu kenapa nad?”. Cukup
dengan tiga kata keramat itu, air mataku yang tidak bisa keluar, air mataku
yang mati-matian aku tahan agar tidak keluar, tiba-tiba membanjiri pipiku.
Kepada Nando,
Aku ingin mengucapkan
terima kasih dan maaf. Itulah perasaan yang selalu aku rasakan yang selalu aku
tumpahkan bersama air mataku. Terima kasih karena telah bertanya dan membuatku
merasa bahwa aku tidak sendiri, dan maaf karena aku hanya mampu menjawab, “aku
tidak apa-apa”.
Comments
Post a Comment