Kepada kamu, pemilik Nirmala.
Aku tidak yakin apakah kamu akan membaca ini atau tidak. Mungkin suatu hari nanti, entah kapan, kamu akan secara tidak sengaja akan menemukan tulisan ini dan mengetahui bahwa tulisan ini aku tujukan kepadamu.
Pada awalnya aku tidak benar-benar memahami atau menyadari arti dari ada dan tidak adanya kamu. Keberadaanmu untukku sudah seperti udara. Ada tanpa aku sadari, dan ketidakadaanmu membahayakanku. You just be here, naturally being by my side.
Menghabiskan waktu denganmu tanpa melakukan apapun, buatku adalah sesuatu yang menyenangkan. But it might be some kind of burdensome to you.
Aku selalu berceloteh ria menceritakan bagaimana hariku kepadamu. Tanggapan datar dan cuekmu itu, though it hurts but I'm being used to it. Tidak apa-apa, aku memang sudah biasa bercerita sendiri dan menanggapi cerita itu sendiri.
Setiap aku merasa sedih, sendiri, merasa terpuruk, entah kenapa aku memikirkanmu, wish you were here.
Setiap aku memiliki sesuatu yang membahagiakan aku berharap aku bisa selalu membaginya denganmu. Setiap aku menemukan makanan dan minuman yang enak, aku berharap aku bisa menikmatinya bersamamu. But you probably didn’t even feel the same way.
Kenapa setiap kali aku membicarakanmu, rasanya seolah-olah aku sedang menyukai seseorang tapi perasaanku bertepuk sebelah tangan?
Apakah hanya aku yang selalu memikirkanmu?
Apakah hanya aku yang merindukan kehadiranmu?
Apakah hanya aku yang memiliki perasaan ini?
Apakah aku sudah cukup pantas untuk berada di sisimu?
Apakah kamu bahagia bersamaku?
Anehnya, dari dulu, hingga saat ini, perasaan seperti itu masih terus-menerus aku rasakan. Cinta bertepuk sebelah tangan bukanlah sebuah masalah karena aku sudah paham betul bagaimana rasanya.
Semua tentangmu selalu membuatku meragu dan rendah diri. Aku, yang tidak pernah menyukai diriku, merasa tidak punya keyakinan apakah akan ada orang lain yang akan menyukaiku.
Kamu selalu bilang, kamu memiliki ekspektasi tertentu tentang aku. Aku tidak melarangmu berekspektasi. Karena seperti itulah manusia. Akulah yang jadi permasalahan disini. Aku tidak pernah sedikitpun mendekati ekspektasi itu, yang dengan kata lain adalah, sejak awal aku tidak pernah bisa memenuhi apa yang kamu ingin dan harapkan, mendekatipun tidak. Dan kamupun sempat berkata, bahwa kamu kamu menyesal karena telah menyukaiku.
Kamu pernah berkata, apakah mungkin kamu adalah satu satu alasan kenapa aku menjadi semakin menutup diri pada dunia. Dengan sedikit berat hati, aku akui mungkin kamu memiliki peranan untuk itu.
Ada sesuatu yang selalu aku pikirkan, dan ingin aku katakan kepadamu, tidak bisa secara langsung karena aku tidak tahu darimana dan bagaimana memulainya.
Why always me?
Maksudku, kenapa semua kesalahan selalu ada padaku. Kenapa aku harus dapat memenuhi ekspektasimu, sedangkan kamu bahkan tidak bertanya apa keinginanku? Ketika aku sedang terpuruk, ketika aku berpikir untuk menjatuhkan diri dari tangga untuk menghilangkan rasa sakitnya, mengharapkan seseorang ada atau setidaknya memberiku semangat, menyalakan setitik cahaya ketika aku tenggelam dalam kegelapan, apakah kamu ada?
Tidak.
Karena aku tidak pernah bilang.
Aku memang tidak pandai berbicara, dan kamu selalu memintaku untuk merubahnya.
Tapi aku tidak pernah bisa melakukannya. Aku yang sudah cukup menyedihkan ini, tidak mau menjadi lebih terpuruk oleh karena prasangka dan penilaian orang lain terhadapku. Ini mungkin akan terlihat sebagai sebuah alasan, tapi aku memang tidak begitu suka mengungkapkan sesuatu secara langsung.
Kamu mungkin merasa lelah karena aku terus-menerus mengusik ketenanganmu, mengusik hari indahmu, dengan ocehan dan keluhan dariku yang tidak ada habisnya, dengan bercandaan yang tidak pernah sesuai waktunya. Aku tahu, aku minta maaf. Sudah ratusan ribuan kali tak terhitung berapa kali aku memohon maaf kepadamu, sudah terlalu sering sehingga mungkin kamu sudah tidak bisa menerima permohonan maafku.
Kamu mungkin punya hal lain, tapi untukku kamu adalah satu. Itulah alasan kenapa aku merasa sangat sedih, rasanya seperti separuh diriku hilang ketika kamu pergi. Aku, yang lemah ini, menjadi semakin mudah menangis dan mudah takut, ketika kamu tidak ada. Aku percaya kamu akan baik-baik saja tanpa aku, tapi aku rasa, aku tidak begitu tanpamu.
Sebenarnya aku benci pada kemungkinan bahwa tidak ada aku di masa depanmu. Aku benci pada kebaik-baik sajaanmu tanpa aku. Aku benci pada aku yang seperti ini.
Maafkan aku.
Comments
Post a Comment