Skip to main content

2020: Penutup





Everyone carries their own burdens.


Aku pikir bukan hanya aku, tapi semua orang juga merasakan, bahwa tahun ini adalah tahun yang cukup sulit. Setiap orang berusaha sangat keras dengan kemampuannya masing-masing untuk tetap hidup dan bernafas. 

Aku ingin bercerita.

Membagi kisah.

Membagi beban.


Tapi aku pikir aku tidak pantas mengeluh pada orang lain ketika orang lain juga memiliki kisah dan beban. Aku mencoba menahan diri agar tidak mengeluh, karena semua orang juga memiliki keluhannya masing-masing, bahkan lebih berat daripada milikku. 


Aku pikir aku adalah orang yang mampu bertahan dengan sangat baik. Aku pikir aku adalah orang yang cukup lihai untuk beradaptasi dengan keadaan sulit. Aku pikir aku akan baik-baik saja.

Ternyata tidak. Aku tidak baik-baik saja.

Cukup banyak aku menangis, sampai kering air mataku. Aku pikir setelah tangisanku berhenti, aku akan kembali baik-baik saja. 
Tapi ternyata tidak. 

Aku sudah berteriak penuh amarah, sampai kering tenggorokanku, sampai habis suaraku. Aku pikir setelah reda amarahku, aku akan kembali baik-baik saja. 
Tapi ternyata tidak. 


Begitu berat.

Begitu lelah.



Aku tidak kuat.




Sempat muncul di benakku, apakah jika aku menjatuhkan diri. 

Menabrakkan diri. 

Melukai diri. 

Dengan sengaja. 

Akankah aku bisa berhenti merasakan rasa penat dan sesak ini? Baik-baik saja dan bahagia?


Aku butuh rehat. Sejenak mencari udara segar dan suasana baru. 
Penjernih pikiran.



Tidak semua hal akan terjadi sesuai apa yang kita kehendaki. 

Benar. 

Aku tidak semudah itu untuk mengerti dan memahami bahwa tidak semua hal akan terjadi sesuai apa yang kita kehendaki.


Di penghujung tahun 2020 ini. 
Diakhir tahun 2020 ini. 
Sekali lagi, dengan sekuat tenaga aku berjuang untuk berdamai dengan pikiran dan hatiku. Karena itu, kamu juga harus berjuang. Tidak harus untuk tetap hidup, tapi setidaknya untuk tetap mampu berpikiran jernih.


You've really worked hard enough. 

Comments

Popular posts from this blog

canggung

Ternyata adanya jarak dan waktu yang mengisi kekosongan bisa menciptakan emosi yang dinamakan canggung. Aku sebenernya nggak tau sih, apakah canggung ini bisa dikategorikan sebagai bentuk emosi. Tapi ya, menurutku termasuk, karena melibatkan perasaan dan pemikiran. Hati dan otak turut serta dalam membentuk suasana ini. Aku pernah punya teman-teman akrab. Akrab sekali. Sampai semua hal aku ceritakan. Sampai tidak ada hal yang terlewatkan untuk aku sampaikan. Akrab sekali sampai hampir selalu bersama. Tapi kemudian terpisah dan berakhir canggung ketika akhirnya bertemu kembali. Jarak yang membentang mengisi kekosongan dan muncullah rasa itu. Canggung. Dulu, sih, inner circle. Sekarang?  Mohon maaf. あのう、すみませんが、今ちょっと…。 違うよ! Aku tidak menyalahkan jarak. Karena jarak sebenarnya tidak akan berarti jika diisi dengan komunikasi yang baik. Tapi aku tidak pandai menjaga komunikasi. Satu per satu teman akrab berakhir menjadi teman yang pernah akrab. Kalo lagi senggang aja bar...

semua akan ada waktunya

When you feel exhausted, don't hold back, it's okay to be down -orange- Sedang musimnya tertekan dan depresi melihat teman-teman seangkatan satu per satu mulai menyelesaikan kewajibannya di kampus. Sedang musimnya iri melihat raut bahagia teman-teman yang berhasil menanggalkan status mahasiswanya. Sedang musimnya mengeluh dan sambat karena penelitian dan skripsi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sedang musimnya muak akan pertanyaan "semester berapa" "kapan sidang" "kapan wisuda"

Rangga Adriatmoko

Cause as long as you keep it as a secret, it’s gonna be okay... Aku melihatmu mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna merah-hitam-putih, celana jeans hitam serta sepatu kets putih dan menenteng sebuah gitar listrik. Sepertinya, kamu sedang bersiap-siap untuk naik ke atas panggung.  Aku terpaku.  Ah, kamu tampak begitu tampan.  Kau tampaknya memang bukanlah sosok yang pantas untuk diabaikan. Dan aku, tak sedikitpun mengalihkan padanganku ke arah lain selain ke arahmu. Tak peduli seramai apa suasana disini, yang aku ingin hanyalah memandangmu.  Iya, cukup kamu. Tepuk tangan riuh mengakhiri penampilanmu yang memukau itu. Semua penonton bersorak-sorai meneriakkan namamu. Dari atas panggung itu, kulihat kamu tersenyum, tersenyum manis sekali. Aku menatapmu lama.  Pikiranku sepenuhnya tersedot oleh asa tentangmu.  Aku terhipnotis.  Kamu tahu, bagiku, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan ini. Bahkan hingga kamu meletakkan gitarm...