Skip to main content

long gone and moved on


……I was born to tell you I love you. And i am torn to do what i have to. To make you mind stay with me tonight…
“itu lagunya siapa kak?”
Kamu berhenti bermain gitar dan memandangku, “laguku dong”.
“yang bener ah…”
“loh iya beneran. Bagus ya?”
“huuu ini mesti bohong terus. Lagunya siapa?”
“punyanya secondhand serenade, judulnya your call”
***
Gitar tua itu masih disana. Masih tergantung anggun di dinding di sebelah meja belajar. Gitar tua itu masih sama seperti dulu. Nada-nadanya juga tidak berubah menjadi sumbang. Gitar itu tetap menjadi gitar yang penuh dengan kenangan. Penuh dengan serpihan-serpihan masa lalu. Mungkin itu yang membuatku tak berani menyentuhnya barang sesentipun. Lagipula untuk apa? Aku bahkan tak bisa memainkannya sama sekali. Aku hanya tahu chord C saja. Apa gunanya? Lagu apa yang hanya menggunakan chord C? Tidak ada. Aku ingat, dulu, aku sering ditertawakan gara-gara hal ini. Selalu…..oleh orang yang sama……….
semuanya sekarang sudah berubah. Sudah berbeda. Mengapa waktu begitu kejam? Aku benci waktu. Kenapa waktu merubah semua orang yang aku sayangi? Mengapa waktu membuat semua orang yang menyayangiku meninggalkanku? Sekarang aku tak punya apapun. Tak punya siapapun. Hanya gitar tua itu. Gitar yang bahkan aku tak bisa memainkannya. Tak pernah bisa.
***
Aku pikir aku sudah lupa. Tetapi ketika matahari 9 september terbit, entah kenapa aku kembali memandang gitar tua itu, dan seketika sadar. Ternyata, aku belum benar-benar lupa.
 “waaah. Makasih banyak ya dek buat kadonya. Kamu memang adekku yang paling manis..”, katamu saat aku memberi hadiah ulangtahun.
“ooh jadi dibilang manis kalo ngasih kado dulu nih? Jahat nemen”
“hahahaha”
aku masih mengingat semuanya seakan semua itu baru terjadi kemaren. Semuanya masih terpampang jelas. Bagaimana bahagianya aku setiap kali aku di dekatmu. Bagaimana segala sesuatu tentangmu berubah menjadi candu buatku. Bagaimana jauh darimu adalah siksaan yang teramat pedih bagiku. Bagaimana kamu hampir selalu dapat membuatku tersenyum. Iya, kamu. Seseorang yang membuatku berani untuk bermimpi setinggi langit.
“kamu ini cantik kok dek. Coba deh jerawatnya dihilangin. Pasti lebih cantik. Nanti kalo jerawatnya hilang, aku ajak jalan-jalan ke pantai deh”, katamu suatu hari.
“iya ya? beneran?”
“iya, janji”
Semua memang sudah tidak sama. Dan tak akan pernah sama lagi. sekarang kamu sudah tidak pernah lagi memainkan gitar itu untukku. tak pernah lagi duduk disebelahku dan tersenyum menguatkan sambil berkata, “jangan sedih ya. Percaya sama aku, sedihmu itu cuma sementara kok”. Tak pernah lagi bertengkar denganku bahkan hanya karena berebutan sarung tangan.
Sudah kubilang, kan? Aku masih dapat mengingat semuanya. Bagian yang paling menyakitkannya pun aku masih ingat. Aku masih ingat kata-kata kasarmu waktu itu….
“kamu jangan pernah panggil-panggil aku kak lagi. aku bukan kakakmu. Ngerti?”
“kak…..kamu kenapa kok tiba-tiba gini?”
Lalu kemudian aku marah. Marah padamu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa bahkan aku selalu meninggikan orang jahat sepertimu? Kenapa aku menjadikanmu bagian terpenting dalam hidupku? Kenapa pula aku mau terlibat hubungan ‘kakak-adek’ yang berujung menyakitkan seperti ini?
Dan setelah hari itu, semuanya sudah hilang. Hari-hari menyenangkan itu rasanya tidak pernah terjadi. Jalan kita sudah terpisah dan mungkin memang tak akan pernah berdampingan lagi. Hi, stranger….
Menyakitkan memang mengingat semuanya. Apalagi setelah semuanya tidak sama. 3 tahun sudah berlalu begitu cepat. Tapi entah kenapa rasa sakitnya masih sama. Tapi bagaimanapun, kamu pernah menjadi bagian yang teramat penting bagiku. Pernah menjadi tetesan hujan bagi hidupku yang gersang ini. Pernah menjadi ‘dokter’ untuk ‘orang gila’ ini. Pernah menjadi ‘pawang’ untuk ‘harimau’ ini. Seberubah apapun kamu sekarang, kamu pernah menjadi jiwa bagi tubuhku.
Masih ingatkah kamu ketika aku berulang tahun yang ke 15? Ketika kau memainkan begitu banyak lagu dengan gitar itu. tapi aku justru menangis. Semakin kau bernyanyi, semakin keras isak tangisku. Kau tau? Tak ada hal manapun yang aku ingin selain ini. Diberi hadiah ulangtahun dengan dimainkan gitar. Tapi itu 4 tahun yang lalu. Iya… sudah lama sekali.
Seandainya aku diberi pilihan untuk dapat mengulangnya sekali lagi, aku tidak akan mengambil pilihan itu. aku sudah cukup bahagia dengan hidupku sekarang. Dengan adanya Rangga. Jarak memang membuat semuanya tidak mudah, tapi aku pikir, dengan Rangga…..semuanya akan baik-baik saja.
***
Siang ini, aku melihatmu mengucapkan permohonan di depan lilin-lilin kue tart ulangtahunmu. Diselingi teriakan amin dari teman-temanmu. Lalu perlahan kau meniup api di atas lilin-lilin itu hingga padam dan menyisakan asap tipis. Aku tersenyum dan melangkah pergi dari ruangan itu sambil bergumam,
Selamat ulang tahun ya……kak.

Comments

Popular posts from this blog

ingin berhenti

Tulisan pertama di tahun 2020 berisikan tentang luapan amarah yang tidak pernah tersampaikan kepada yang bersangkutan, tentang harapan yang entah kapan akan terwujudkan, tentang keputusasaan dan ketidakpercayaan diri yang terakumulasi dengan sangat baik. Aku marah kepada dunia. Aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa sih manusia selalu SARA. Lemah lalu menyalahkan gender. Umur lantas menentukan bagaimana bersikap. Dan lain-lain.. Kalau lemah, ya lemah aja. Jangan bawa-bawa “aku kan cewek” untuk membenarkan ketidakberdayaan. Kalau memang enggan, ya bilang tidak mau, jangan bawa-bawa “bukan umurku melakukan ini”. Kalau tidak tahu diri, ya jangan bawa-bawa “aku sudah tua, kamu harus menghormati dan menurutiku. Aku berhak memerintahmu” untuk membenarkan kesemena-menaan. Kalau tidak tahu malu, ya jangan bawa-bawa "Aku kan bukan orang jawa" untuk memenuhi keegoisan. Ada batasannya. Garis batas yang begitu tipis.

2020: Penutup

Everyone carries their own burdens. Aku pikir bukan hanya aku, tapi semua orang juga merasakan, bahwa tahun ini adalah tahun yang cukup sulit. Setiap orang berusaha sangat keras dengan kemampuannya masing-masing untuk tetap hidup dan bernafas.  Aku ingin bercerita. Membagi kisah. Membagi beban. Tapi aku pikir aku tidak pantas mengeluh pada orang lain ketika orang lain juga memiliki kisah dan beban. Aku mencoba menahan diri agar tidak mengeluh, karena semua orang juga memiliki keluhannya masing-masing, bahkan lebih berat daripada milikku.  Aku pikir aku adalah orang yang mampu bertahan dengan sangat baik. Aku pikir aku adalah orang yang cukup lihai untuk beradaptasi dengan keadaan sulit. Aku pikir aku akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Aku tidak baik-baik saja. Cukup banyak aku menangis, sampai kering air mataku. Aku pikir setelah tangisanku berhenti, aku akan kembali baik-baik saja.  Tapi ternyata tidak.  Aku sudah berteriak penuh amarah, sampai kering tenggorokank...

no, you're not alone

The problem is you wanna be alone, but you don’t wanna be lonely. Ada saat-saat dimana aku ingin menarik diri dari kehidupan sosial yang penuh dengan kepalsuan, lalu memilih menghabiskan waktu seorang diri. Bersenang-senang dengan dunia fantasiku sendiri lebih membahagiakan daripada harus mengenakan topeng dan berpura-pura ramah kepada semua orang. Tetapi di saat itu pula aku ingin ada seseorang yang mendekatiku dan bertanya, “ada apa?” “kamu kenapa? Sini cerita” kepadaku yang skeptis dan overthinker ini. Tentu saja aku tidak akan langsung serta-merta menceritakan semua yang mengganggu dan memenuhi pikiranku. Tentu saja pula aku akan menjawab “aku tidak apa-apa” kepada seseorang yang telah merelakan detik berharganya untuk bertanya bagaimana keadaanku. Ketika sekolah menengah pertama, aku mengenal seseorang. Selama tiga tahun berturut-turut kami ada di kelas yang sama. Aku bahkan menangis haru ketika upacara pelantikannya sebagai ketua OSIS saat...