Aku tak menyangka, bahwa saat ini aku
merindukan kembali saat-saat itu, ketika kau selalu memainkan gitarmu dengan
raut muka seolah-olah kau adalah gitaris ternama. Kau lucu sekali kak, pikirku saat itu. Setiap hari kau tak
pernah lepas dari gitar itu. Gitar itu sudah seperti pacarmu
sendiri. Kau tak pernah melewatkan sedetikpun tanpa dentingan-dentingan gitarmu
itu. Dan aku mulai menyukaimu semenjak saat itu.
Entahlah, saat
itu aku berpikir, mungkin bagimu tak ada satupun
hal yang pentingnya melebihi gitar itu. Itu hanya gitar
tua, tapi kau memperlakukannya seolah gitar itu salah sentuh sedikit
saja langsung berubah menjadi abu. Aku akui, kau terlihat sangat hebat sekali
saat bermain gitar. Kau memainkannya dengan hati sehingga semua lagu terasa
makin indah. Dan aku mulai
terpesona padamu semenjak saat itu.
“Bisakah kau berhenti bermain gitar dengan
ekspresi seperti itu kak? Aku gemes sekali. Rasanya aku ingin menggaruk mukamu dengan
linggis”, ujarku saat
itu. Kau tertawa tergelak-gelak. “Liat saja, suatu
saat nanti, aku akan membuatmu mengemis-ngemis meminta tanda tanganku dek”, katamu bangga.
Aku meledak tertawa. Impianmu tinggi sekali kak, tapi kurasa aku tak akan
sampai mengemis padamu seperti itu, pikirku.
Saat itu, aku
mungkin sangat fanatik terhadapmu. Apapun yang kau
suka, tanpa aku sadari, aku juga menyukainya. Apapun yang kau benci, tanpa aku
sadari, aku juga membencinya. Aku selalu tahu semua tentangmu, segala seluk
beluk tentang dirimu dan kehidupanmu, semua ambisi dan cita-citamu, juga semua kebiasaanmu. Disaat semua orang tengah memuja-muja
idola-idolanya dari luar negeri sana, aku justru diam disini
dan memujamu. Agak berlebihan mungkin, tapi aku menikmatinya..
Aku masih
mengingat saat dimana kau akhirnya menyatakan cinta pada sahabat dekatmu. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kau menembaknya dibawah
guyuran hujan. Romantis sekali. Kalian memang cocok. Dia adalah perempuan yang paling
beruntung menurutku. Dia baik. Dia pantas memilikimu. Tapi, ada riak-riak
kemarahan dalam alam bawah sadarku. Aku merasa posisi
istimewaku direbut oleh pacar barumu. Kenapa harus dia, kenapa bukan aku?
Meskipun kau
sudah punya pacar, tapi kita sudah seperti soulmate yang tak terpisahkan. Kau masih menyisakan waktumu untuk
adik kecilmu ini. Kita masih bisa selalu menghabiskan
waktu bersama, makan bersama, pulang bersama, jalan-jalan bersama, bercanda
bersama. Mungkin saat itu, pribahasa ‘ada gula ada semut’ harus diganti dengan ‘ada kamu ada aku’. Banyak orang berpikir, kita memiliki hubungan yang teramat dekat. Entahlah,
aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas, aku selalu merasa tenang, nyaman dan
terlindungi saat bersamamu. Pacarmu memang pernah cemburu berat
karena ini. Tapi untunglah setelah kau menjelaskan padanya, dia mengerti
dan semuanya kembali normal.
Bahagiaku itu
sederhana, bersamamu saja, aku sudah sangat bahagia. Semuanya akan terasa
indah. Hujan deras rasanya seperti hari yang cerah. Badai yang petirnya menyambar-nyambar dengan garangnya rasanya
hangat. Kau selalu bisa membuatku tertawa lepas. Aku tidak tau perasaan apa ini, tapi mungkin ini yang orang sebut
cinta. Ya, aku sangat mencintaimu, cinta seorang adik kepada kakaknya, mungkin
juga lebih dari itu..
***
Sekarang kita
sudah SMA. Sudah besar. Saat dimana kita harus berpikir lebih dewasa, berpikir
dua kali sebelum bertindak. Kata orang, masa putih abu-abu adalah masa-masa
yang paling indah. Iyakah? Entahlah. Tapi aku belum merasakan masa-masa indah
itu sekarang. Mungkin memang bukan sekarang, tapi suatu saat nanti.
Tidak terasa.
Semuanya begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu. Rasanya baru
kemarin, saat pertama kali aku melihatmu memainkan gitar itu. Rasanya baru kemarin, saat kau mendeklarasikan pada semua
teman-temanmu, bahwa aku adalah adikmu, adikmu yang paling manis. Rasanya baru kemarin, saat kau memperkenalkan dia sebagai pacar barumu padaku. Haha. Aku senyum-senyum sendiri saat mengingat kejadian
itu.
Masa SMA itu masa
sibuk. Sibuk dikejar tugas-tugas sekolah, sibuk dikejar jadwal ekstrakulikuler,
sibuk dikejar jadwal tambahan pelajaran, sibuk dikejar jadwal ini dan itu. Aku sibuk, kaupun sibuk. Kita memang berbeda
satu tahun, tapi karena kita lulus TK pada saat yang bersamaan, yaitu saat kau
berumur 7 tahun dan aku 6 tahun. Dan setelahnya, kita selalu satu kelas. Namun
kali ini kita tak lagi satu kelas. Itulah yang membuat kita berdua tak bisa sedekat dulu. Terutama ketika kau memutuskan untuk bergabung
dengan organisasi siswa yang tingkatannya paling tinggi di SMA dan mendapat
kehormatan untuk menduduki posisi ketua II. Hebat. Aku turut senang
mengetahuinya. Pada awalnya semuanya normal, di sela-sela kesibukanmu, kau
masih sempat menghabiskan waktu denganku seperti dulu. Kau masih sempat
mengantarkanku pulang. Kau juga masih sempat jalan dengan pacarmu.
Sayang kini semuanya berubah.
Makin lama kau
makin sibuk saja. Kita satu sekolahan, tapi intensitas kita
untuk bertemu itu jarang. Kau bahkan rasanya tak pernah punya waktu untukku
lagi. Kau cuek. OSIS lagi OSIS lagi. Di kepalamu
mungkin cuma ada yang namanya OSIS. Kau seolah lupa bahwa kau punya pacar dan
seorang adik yang membutuhkanmu. Aku merasa
terlupakan. Jangankan ngobrol berdua, smspun kau jarang sekali membalasnya.
Kalaupun kau membalasnya, itu hanya berisikan kata-kata singkat padat yang
menggantung. Kalaupun kita bertemu di kantin sekolah, kau hanya tersenyum
sekilas lalu melambai pergi. Sesak rasanya hanya bisa memandangmu dari
kejauhan.
Aku selalu saja ingin menangis saat melihat gitar tua itu tergantung di
dinding kamarmu tanpa sempat kau sentuh. Padahal dulu kau tak pernah
terpisahkan dari gitar itu. Kemana perginya kakakku yang dulu? I just want it back the way it
was before..
Bahkan aku telat
mengetahui bahwa kau sudah lama putus dengan pacarmu. Aku bahkan baru tahu bahwa disela-sela kesibukanmu dalam OSIS kau diam-diam juga bekerja. Aku, adikmu, baru tahu? Sesibuk itukah
sampai memberitahukannya padaku saja kau tak sempat? Dan sekarang, aku
menemukanmu terpuruk karena masalahmu, karena bebanmu, karena tanggung jawabmu. Apa kau lupa padaku? Pada adik kecilmu ini? Kenapa punya masalah malah
dipendam sendiri? Aku ada disini
kak, aku akan selalu ada buat kamu kapanpun kamu butuh. Sepertinya kau benar-benar lupa, bahwa ada aku disini, selalu menunggumu
mengatakan segalanya, selalu menunggumu menceritakan semuanya.
Aku membenci duniamu saat ini. Rasanya aku tak lagi mengenalmu. Aku tak lagi
dapat memahamimu. Kau yang menjadi kakak sekaligus sahabat terbaikku, rasanya
menjadi orang asing. Kau bahkan tak pernah terlihat memainkan gitar tua itu lagi. Kau tak pernah lagi bernyanyi sambil
bermain gitar dengan raut muka lucu seperti dulu. Aku tak bisa mengingat kapan
terakhir kali kau menjitak kepalaku, kapan terakhir kali kau merengkuh pundakku
dengan halus, kapan terakhir kali aku menangis dalam dekapanmu, kapan terakhir
kali aku mengacak-acak rambutmu. Padahal semua kebiasaan itu satu tahunpun
belum genap kau tinggalkan, tapi semua itu rasanya sudah lamaaa sekali. Kakak,
aku merindukanmu. Banyak sekali hal yang aku harap kau
tahu. I really miss the old of
us...
***
Aku melihatmu
duduk bersama seorang perempuan di kantin sekolah, yang aku tahu, dia adalah
kakak kelas kita yang tahun ini baru saja lulus. Kalian berdua terlihat sangat
dekat dan akrab. Sebuah batu raksasa rasanya datang menghimpitku. Sesak. Aku
mengambil tempat duduk agak jauh darimu dan mematung mengawasi semua
gerak-gerikmu, memasang telinga tajam-tajam untuk mendengarkan semua
pembicaraanmu dengan kakak perempuan itu. Apakah kau dan
kakak perempuan itu? Tidak. Tidak. Aku
tak boleh berburuk sangka. Kalaupun memang ada sesuatu, pasti kau akan menceritakannya padaku, setidaknya kau akan meminta pendapatku atas perempuan yang kau sukai. Tapi aku tak tahan lagi. Kepalaku rasanya pening dan mataku makin panas saat melihat
keakrabanmu dengan kakak perempuan itu. Bagaimanapun, jelas-jelas aku tak akan setuju kalau kau pacaran dengan
kakak perempuan itu.
Aku mengambil handphone dari saku rokku dan mulai
mengetikkan beberapa kata, lalu memencet tombol send.
To : Kakak
(083847028***)
“Km
skrg sama mbak itu kak?”
Beberapa detik
kemudian, balasan darimu muncul di layar handphoneku.
Balasanmu melegakan tapi aku masih belum bisa tenang.
From : Kakak
(083847028***)
“Hahaha ya nggak lah.”
To : Kakak
(083847028***)
“Trus
kok dritadi duduk sama dia?”
From : Kakak
(083847028***)
“Hahaha
merhatiin aku km dek?”
To : Kakak
(083847028***)
“Iya
hehe. Maaf”
From : Kakak
(083847028***)
“Gapapaaa. Kita nggak
ada apa2 kok dek. Ini cuma ngobrol2 biasa doang”
To : Kakak
(083847028***)
“ooh. Maaf ya
kak, aku mikir macem2 soal km. Loh
trus knpa km
nggak jum’atan?”
From : Kakak
(083847028***)
“Haha
iyaa jum’atan niiih”
Aku melihatmu
keluar dari kantin. Kau tersenyum kepadaku. “Udah jam berapa ini ha?” tanyaku ketus. “Iyaa maaf. Makasih dek udah diingetin,” jawabmu. Aku tak mengalihkan pandanganku
padamu sampai kau menuju tempat parkir sekolah untuk mengambil motormu.
Terakhir kali kau datang shalat jum’at terlambat adalah saat kau
sedang bersama pacarmu, yang sekarang sudah menjadi mantanmu. Perasaanku menjadi
tak karuan. Ribuan pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiranku. Kepalaku menjadi
makin pening.
***
Kau tersenyum dan
melangkah gontai ke arahku dengan satu tangan membawa map dengan logo OSIS
besar di sampulnya. Kau mengambil segelas teh poci susu coklat dari tanganku
lalu menegaknya habis.
“Hai kak. OSIS lagi ya?” sapaku.
Kau terhenyak memandangku. Aku membalasnya
dengan tersenyum. “Aku beneran sibuk
dek, maaf ya aku nelantarin kamu. Aku putus sama dia aja, ngerasa hampanya baru
setelah aku masuk waktu senggang. Aku mungkin terlalu cuek gara gara
kesibukanku, maaf ya dek,” katamu dengan muka letih.
“Aku ngerti kok
kak, aku ngerti gimana sibuknya OSIS itu. Apalagi
kamu ketua kan..” aku memberi penekanan pada kata ‘ketua’nya.
“Dek, aku sempet
mikir, aku pingin jadi anggota aja ketimbang ketua..”
“Heiii ngelantur ya bicaranya,” kataku seraya mencubit
lenganmu.
“Susah dek jadi
ketua. Jadi orang kreatif itu susah. Mesti mikir ini itu. Enak’an jadi anggota,
tinggal jalan aja.”
“Tinggal jalan?” tanyaku keheranan.
“Ya seenggaknya
tugas sama tanggung jawabnya nggak seberat jadi ketua kan..”
Aku terdiam. Aku sadar betul bagaimana beratnya beban
yang kau tanggung sekarang. Kadang, aku berharap kita jadi kecil lagi,
jadi anak anak lagi yang nggak perlu mikirin ini itu, yang selalu gembira karena tak punya masalah. Ah. Wish it
never grow up. Yah, sebenarnya, aku ingin
menceritakan banyak hal padamu. Begitu banyak
hal yang terjadi saat kau menelantarkanku di dunia yang kejam ini. Tapi aku harus menelan semua ceritaku
lagi, karena aku tidak mau menambah beban pikiran lagi buatmu. Sudah cukup aku terluka melihatmu muram seperti ini.
“Eh dek! Nanti malam kita ke bioskop yok, kita nonton The Raid. Aku
penasaran filmnya kaya gimana kok bisa sampai go international gitu,” ajakmu. Aku menggangguk semangat. Sudah
lama kita tidak jalan bersama. “Sing ayu
yo dek,” bisikmu lembut di telingaku. Kau mengacak rambutku kemudian berlalu pergi. Aku tersenyum. Entah
kenapa aku tak bisa berhenti tersenyum. Pergi nonton berdua bersamamu malam ini
akan sedikit menghapus rasa rinduku..
***
Aku termenung memandang kemerlap bintang-bintang di langit malam dari
jendela kamar. Malam ini tanggal 29 April 2012. Ya, berarti besok adalah hari
ulang tahunku. Mungkin kau sudah lupa akan tanggal ini. Padahal tahun-tahun
sebelumnya, kau selalu memberiku hadiah ulang tahun dengan menyanyikan lagu
dari band favoritku, Secondhand Serenade, dengan alunan gitar. Ah, aku tak mau
berharap banyak. Mungkin hadiah ulang tahunku tahun ini hanya senyumanmu saja.
Aku menutup jendela kamar lalu beranjak menuju tempat tidurku dan menarik
selimut. Aku pergi tidur dengan ribuan harapan yang tak pasti.
Keesokan paginya..
“HAPPY BIRTHDAY ADEKKUUU SAYAAANG!!” Aku mendengarmu berteriak keras dalam
mimpiku. Tidak. Ini bukan mimpi, suaramu terdengar jelas sekali. Aku mengucek
mataku dan menguap lebar. Aku melihatmu berdiri di samping tempat tidurku
dengan sekotak besar kado yang dibungkus dengan manis dan sebuah gitar. Segera
kantukku langsung lenyap. “Loh kakak?” aku kaget. Kau ingat. Kau masih mengingat
hari ini.
“Selamat ulang tahun adek kecilku yang manis. Aku lama ya nggak main
gitar buat kamu, sekarang aku mainin deh, jadi aku punya dua kado buat kamu dek,” serumu riang. Kau meraih gitar itu, ya gitar tua yang sangat kau
sayangi, gitar yang dentingan dan pemiliknya sangat aku rindukan. Kaupun mulai
bernyanyi, aku tersenyum menikmati. Kamu memainkan begitu banyak lagu. Aku
merasakan gitar tua itu juga sedang tersenyum senang. Tanpa sadar aku menangis
karena bahagia. “Kak, aku kangen sama kamu. Promise
me you’ll never go away. Promise me you’ll always stay. Jangan telantarin
aku lagi ya. Your little sista miss you
so much, brother,” isakku.
Kau menyandarkan gitar tua itu di dinding kamar lalu menyeka airmataku.
Kau tersenyum dan merengkuhku dalam pelukanmu. “Kamu akan tetap menjadi adek
kecilku yang paling manis. Jangan nangis lagi ya. The ones that love us never really leave us. You can find them in your
heart. Aku nggak pernah ninggalin kamu, aku tetap ada di hatimu kok dek. Aku
sayang banget dek sama kamu. Nggak bakal ada yang berubah kok. Jangan nangis
lagi dong. Adeknya ketua II OSIS nggak boleh gembeng.”
Ya, setidaknya, saat aku melihatmu tersenyum dan tertawa di hadapanku, saat kau menyeka airmataku, saat kau memelukku, membuat aku yakin, bahwa apa yang selama ini aku pikir lenyap nyatanya hanya tertutup emosi. Kau masih kakakku, kau masih sahabat terbaikku and nothing’s gonna change. Dia hanya seorang anak yang mencoba bertanggung jawab atas apa yang dibebankan kepadanya. Ya, dia tetaplah seorang kakak yang menyayangi adik kecilnya ini..
Comments
Post a Comment