Skip to main content

gitar tua



Aku tak menyangka, bahwa saat ini aku merindukan kembali saat-saat itu, ketika kau selalu memainkan gitarmu dengan raut muka seolah-olah kau adalah gitaris ternama. Kau lucu sekali kak, pikirku saat itu. Setiap hari kau tak pernah lepas dari gitar itu. Gitar itu sudah seperti pacarmu sendiri. Kau tak pernah melewatkan sedetikpun tanpa dentingan-dentingan gitarmu itu. Dan aku mulai menyukaimu semenjak saat itu.
Entahlah, saat itu aku berpikir, mungkin bagimu tak ada satupun hal yang pentingnya melebihi gitar itu. Itu hanya gitar tua, tapi kau memperlakukannya seolah gitar itu salah sentuh sedikit saja langsung berubah menjadi abu. Aku akui, kau terlihat sangat hebat sekali saat bermain gitar. Kau memainkannya dengan hati sehingga semua lagu terasa makin indah. Dan aku mulai terpesona padamu semenjak saat itu.
Bisakah kau berhenti bermain gitar dengan ekspresi seperti itu kak? Aku gemes sekali. Rasanya aku ingin menggaruk mukamu dengan linggis, ujarku saat itu. Kau tertawa tergelak-gelak. “Liat saja, suatu saat nanti, aku akan membuatmu mengemis-ngemis meminta tanda tanganku dek, katamu bangga. Aku meledak tertawa. Impianmu tinggi sekali kak, tapi kurasa aku tak akan sampai mengemis padamu seperti itu, pikirku.
Saat itu, aku mungkin sangat fanatik terhadapmu. Apapun yang kau suka, tanpa aku sadari, aku juga menyukainya. Apapun yang kau benci, tanpa aku sadari, aku juga membencinya. Aku selalu tahu semua tentangmu, segala seluk beluk tentang dirimu dan kehidupanmu, semua ambisi dan cita-citamu, juga semua kebiasaanmu. Disaat semua orang tengah memuja-muja idola-idolanya dari luar negeri sana, aku justru diam disini dan memujamu. Agak berlebihan mungkin, tapi aku menikmatinya..
Aku masih mengingat saat dimana kau akhirnya menyatakan cinta pada sahabat dekatmu. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kau menembaknya dibawah guyuran hujan. Romantis sekali. Kalian memang cocok. Dia adalah perempuan yang paling beruntung menurutku. Dia baik. Dia pantas memilikimu. Tapi, ada riak-riak kemarahan dalam alam bawah sadarku. Aku merasa posisi istimewaku direbut oleh pacar barumu. Kenapa harus dia, kenapa bukan aku?
Meskipun kau sudah punya pacar, tapi kita sudah seperti soulmate yang tak terpisahkan. Kau masih menyisakan waktumu untuk adik kecilmu ini. Kita masih bisa selalu menghabiskan waktu bersama, makan bersama, pulang bersama, jalan-jalan bersama, bercanda bersama. Mungkin saat itu, pribahasa ada gula ada semut’ harus diganti dengan ada kamu ada aku’. Banyak orang berpikir, kita memiliki hubungan yang teramat dekat. Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas, aku selalu merasa tenang, nyaman dan terlindungi saat bersamamu. Pacarmu memang pernah cemburu berat karena ini. Tapi untunglah setelah kau menjelaskan padanya, dia mengerti dan semuanya kembali normal.
Bahagiaku itu sederhana, bersamamu saja, aku sudah sangat bahagia. Semuanya akan terasa indah. Hujan deras rasanya seperti hari yang cerah. Badai yang petirnya menyambar-nyambar dengan garangnya rasanya hangat. Kau selalu bisa membuatku tertawa lepas. Aku tidak tau perasaan apa ini, tapi mungkin ini yang orang sebut cinta. Ya, aku sangat mencintaimu, cinta seorang adik kepada kakaknya, mungkin juga lebih dari itu..
***
Sekarang kita sudah SMA. Sudah besar. Saat dimana kita harus berpikir lebih dewasa, berpikir dua kali sebelum bertindak. Kata orang, masa putih abu-abu adalah masa-masa yang paling indah. Iyakah? Entahlah. Tapi aku belum merasakan masa-masa indah itu sekarang. Mungkin memang bukan sekarang, tapi suatu saat nanti.
Tidak terasa. Semuanya begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu. Rasanya baru kemarin, saat pertama kali aku melihatmu memainkan gitar itu. Rasanya baru kemarin, saat kau mendeklarasikan pada semua teman-temanmu, bahwa aku adalah adikmu, adikmu yang paling manis. Rasanya baru kemarin, saat kau memperkenalkan dia sebagai pacar barumu padaku. Haha. Aku senyum-senyum sendiri saat mengingat kejadian itu.
Masa SMA itu masa sibuk. Sibuk dikejar tugas-tugas sekolah, sibuk dikejar jadwal ekstrakulikuler, sibuk dikejar jadwal tambahan pelajaran, sibuk dikejar jadwal ini dan itu. Aku sibuk, kaupun sibuk. Kita memang berbeda satu tahun, tapi karena kita lulus TK pada saat yang bersamaan, yaitu saat kau berumur 7 tahun dan aku 6 tahun. Dan setelahnya, kita selalu satu kelas. Namun kali ini kita tak lagi satu kelas. Itulah yang membuat kita berdua tak bisa sedekat dulu. Terutama ketika kau memutuskan untuk bergabung dengan organisasi siswa yang tingkatannya paling tinggi di SMA dan mendapat kehormatan untuk menduduki posisi ketua II. Hebat. Aku turut senang mengetahuinya. Pada awalnya semuanya normal, di sela-sela kesibukanmu, kau masih sempat menghabiskan waktu denganku seperti dulu. Kau masih sempat mengantarkanku pulang. Kau juga masih sempat jalan dengan pacarmu.
Sayang kini semuanya berubah.
Makin lama kau makin sibuk saja. Kita satu sekolahan, tapi intensitas kita untuk bertemu itu jarang. Kau bahkan rasanya tak pernah punya waktu untukku lagi. Kau cuek. OSIS lagi OSIS lagi. Di kepalamu mungkin cuma ada yang namanya OSIS. Kau seolah lupa bahwa kau punya pacar dan seorang adik yang membutuhkanmu. Aku merasa terlupakan. Jangankan ngobrol berdua, smspun kau jarang sekali membalasnya. Kalaupun kau membalasnya, itu hanya berisikan kata-kata singkat padat yang menggantung. Kalaupun kita bertemu di kantin sekolah, kau hanya tersenyum sekilas lalu melambai pergi. Sesak rasanya hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Aku selalu saja ingin menangis saat melihat gitar tua itu tergantung di dinding kamarmu tanpa sempat kau sentuh. Padahal dulu kau tak pernah terpisahkan dari gitar itu. Kemana perginya kakakku yang dulu? I just want it back the way it was before..
Bahkan aku telat mengetahui bahwa kau sudah lama putus dengan pacarmu. Aku bahkan baru tahu bahwa disela-sela kesibukanmu dalam OSIS kau diam-diam juga bekerja. Aku, adikmu, baru tahu? Sesibuk itukah sampai memberitahukannya padaku saja kau tak sempat? Dan sekarang, aku menemukanmu terpuruk karena masalahmu, karena bebanmu, karena tanggung jawabmu. Apa kau lupa padaku? Pada adik kecilmu ini? Kenapa punya masalah malah dipendam sendiri? Aku ada disini kak, aku akan selalu ada buat kamu kapanpun kamu butuh. Sepertinya kau benar-benar lupa, bahwa ada aku disini, selalu menunggumu mengatakan segalanya, selalu menunggumu menceritakan semuanya.
Aku membenci duniamu saat ini. Rasanya aku tak lagi mengenalmu. Aku tak lagi dapat memahamimu. Kau yang menjadi kakak sekaligus sahabat terbaikku, rasanya menjadi orang asing. Kau bahkan tak pernah terlihat memainkan gitar tua itu lagi. Kau tak pernah lagi bernyanyi sambil bermain gitar dengan raut muka lucu seperti dulu. Aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali kau menjitak kepalaku, kapan terakhir kali kau merengkuh pundakku dengan halus, kapan terakhir kali aku menangis dalam dekapanmu, kapan terakhir kali aku mengacak-acak rambutmu. Padahal semua kebiasaan itu satu tahunpun belum genap kau tinggalkan, tapi semua itu rasanya sudah lamaaa sekali. Kakak, aku merindukanmu. Banyak sekali hal yang aku harap kau tahu. I really miss the old of us...
***
Aku melihatmu duduk bersama seorang perempuan di kantin sekolah, yang aku tahu, dia adalah kakak kelas kita yang tahun ini baru saja lulus. Kalian berdua terlihat sangat dekat dan akrab. Sebuah batu raksasa rasanya datang menghimpitku. Sesak. Aku mengambil tempat duduk agak jauh darimu dan mematung mengawasi semua gerak-gerikmu, memasang telinga tajam-tajam untuk mendengarkan semua pembicaraanmu dengan kakak perempuan itu. Apakah kau dan kakak perempuan itu? Tidak. Tidak. Aku tak boleh berburuk sangka. Kalaupun memang ada sesuatu, pasti kau akan menceritakannya padaku, setidaknya kau akan meminta pendapatku atas perempuan yang kau sukai. Tapi aku tak tahan lagi. Kepalaku rasanya pening dan mataku makin panas saat melihat keakrabanmu dengan kakak perempuan itu. Bagaimanapun, jelas-jelas aku tak akan setuju kalau kau pacaran dengan kakak perempuan itu.
Aku mengambil handphone dari saku rokku dan mulai mengetikkan beberapa kata, lalu memencet tombol send.
To : Kakak (083847028***)
“Km skrg sama mbak itu kak?”

Beberapa detik kemudian, balasan darimu muncul di layar handphoneku. Balasanmu melegakan tapi aku masih belum bisa tenang.
From : Kakak (083847028***)
“Hahaha ya nggak lah.”

To : Kakak (083847028***)
“Trus kok dritadi duduk sama dia?”

From : Kakak (083847028***)
“Hahaha merhatiin aku km dek?”

To : Kakak (083847028***)
“Iya hehe. Maaf”

From : Kakak (083847028***)
“Gapapaaa. Kita nggak ada apa2 kok dek. Ini cuma ngobrol2 biasa doang

To : Kakak (083847028***)
ooh. Maaf ya kak, aku mikir macem2 soal km. Loh trus knpa km nggak jum’atan?”

From : Kakak (083847028***)
“Haha iyaa jum’atan niiih”

Aku melihatmu keluar dari kantin. Kau tersenyum kepadaku. “Udah jam berapa ini ha? tanyaku ketus. “Iyaa maaf. Makasih dek udah diingetin, jawabmu. Aku tak mengalihkan pandanganku padamu sampai kau menuju tempat parkir sekolah untuk mengambil motormu. Terakhir kali kau datang shalat jum’at terlambat adalah saat kau sedang bersama pacarmu, yang sekarang sudah menjadi mantanmu. Perasaanku menjadi tak karuan. Ribuan pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiranku. Kepalaku menjadi makin pening.
***
Kau tersenyum dan melangkah gontai ke arahku dengan satu tangan membawa map dengan logo OSIS besar di sampulnya. Kau mengambil segelas teh poci susu coklat dari tanganku lalu menegaknya habis.
“Hai kak. OSIS lagi ya? sapaku.
Kau terhenyak memandangku. Aku membalasnya dengan tersenyum. “Aku beneran sibuk dek, maaf ya aku nelantarin kamu. Aku putus sama dia aja, ngerasa hampanya baru setelah aku masuk waktu senggang. Aku mungkin terlalu cuek gara gara kesibukanku, maaf ya dek, katamu dengan muka letih.
Aku ngerti kok kak, aku ngerti gimana sibuknya OSIS itu. Apalagi kamu ketua kan.. aku memberi penekanan pada kata ketua’nya.
Dek, aku sempet mikir, aku pingin jadi anggota aja ketimbang ketua..
Heiii ngelantur ya bicaranya, kataku seraya mencubit lenganmu.
Susah dek jadi ketua. Jadi orang kreatif itu susah. Mesti mikir ini itu. Enak’an jadi anggota, tinggal jalan aja.
Tinggal jalan? tanyaku keheranan.
Ya seenggaknya tugas sama tanggung jawabnya nggak seberat jadi ketua kan..
Aku terdiam. Aku sadar betul bagaimana beratnya beban yang kau tanggung sekarang. Kadang, aku berharap kita jadi kecil lagi, jadi anak anak lagi yang nggak perlu mikirin ini itu, yang selalu gembira karena tak punya masalah. Ah. Wish it never grow up. Yah, sebenarnya, aku ingin menceritakan banyak hal padamu. Begitu banyak hal yang terjadi saat kau menelantarkanku di dunia yang kejam ini. Tapi aku harus menelan semua ceritaku lagi, karena aku tidak mau menambah beban pikiran lagi buatmu. Sudah cukup aku terluka melihatmu muram seperti ini.
“Eh dek! Nanti malam kita ke bioskop yok, kita nonton The Raid. Aku penasaran filmnya kaya gimana kok bisa sampai go international gitu, ajakmu. Aku menggangguk semangat. Sudah lama kita tidak jalan bersama. “Sing ayu yo dek, bisikmu lembut di telingaku. Kau mengacak rambutku  kemudian berlalu pergi. Aku tersenyum. Entah kenapa aku tak bisa berhenti tersenyum. Pergi nonton berdua bersamamu malam ini akan sedikit menghapus rasa rinduku..
***
Aku termenung memandang kemerlap bintang-bintang di langit malam dari jendela kamar. Malam ini tanggal 29 April 2012. Ya, berarti besok adalah hari ulang tahunku. Mungkin kau sudah lupa akan tanggal ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya, kau selalu memberiku hadiah ulang tahun dengan menyanyikan lagu dari band favoritku, Secondhand Serenade, dengan alunan gitar. Ah, aku tak mau berharap banyak. Mungkin hadiah ulang tahunku tahun ini hanya senyumanmu saja. Aku menutup jendela kamar lalu beranjak menuju tempat tidurku dan menarik selimut. Aku pergi tidur dengan ribuan harapan yang tak pasti.
Keesokan paginya..
“HAPPY BIRTHDAY ADEKKUUU SAYAAANG!! Aku mendengarmu berteriak keras dalam mimpiku. Tidak. Ini bukan mimpi, suaramu terdengar jelas sekali. Aku mengucek mataku dan menguap lebar. Aku melihatmu berdiri di samping tempat tidurku dengan sekotak besar kado yang dibungkus dengan manis dan sebuah gitar. Segera kantukku langsung lenyap. “Loh kakak? aku kaget. Kau ingat. Kau masih mengingat hari ini.
“Selamat ulang tahun adek kecilku yang manis. Aku lama ya nggak main gitar buat kamu, sekarang aku mainin deh, jadi aku punya dua kado buat kamu dek, serumu riang. Kau meraih gitar itu, ya gitar tua yang sangat kau sayangi, gitar yang dentingan dan pemiliknya sangat aku rindukan. Kaupun mulai bernyanyi, aku tersenyum menikmati. Kamu memainkan begitu banyak lagu. Aku merasakan gitar tua itu juga sedang tersenyum senang. Tanpa sadar aku menangis karena bahagia. “Kak, aku kangen sama kamu. Promise me you’ll never go away. Promise me you’ll always stay. Jangan telantarin aku lagi ya. Your little sista miss you so much, brother, isakku.
Kau menyandarkan gitar tua itu di dinding kamar lalu menyeka airmataku. Kau tersenyum dan merengkuhku dalam pelukanmu. “Kamu akan tetap menjadi adek kecilku yang paling manis. Jangan nangis lagi ya. The ones that love us never really leave us. You can find them in your heart. Aku nggak pernah ninggalin kamu, aku tetap ada di hatimu kok dek. Aku sayang banget dek sama kamu. Nggak bakal ada yang berubah kok. Jangan nangis lagi dong. Adeknya ketua II OSIS nggak boleh gembeng.

Ya, setidaknya, saat aku melihatmu tersenyum dan tertawa di hadapanku, saat kau menyeka airmataku, saat kau memelukku, membuat aku yakin, bahwa apa yang selama ini aku pikir lenyap nyatanya hanya tertutup emosi. Kau masih kakakku, kau masih sahabat terbaikku and nothing’s gonna change. Dia hanya seorang anak yang mencoba bertanggung jawab atas apa yang dibebankan kepadanya. Ya, dia tetaplah seorang kakak yang menyayangi adik kecilnya ini..


Comments

Popular posts from this blog

そして、生きる

di pagi buta ini aku kembali membaca tulisan yang aku buat pada bulan Desember tahun 2014. dimana Rangga bilang, aku adalah anak yang gigih, karena selalu melakukan sesuatu yang disukai dengan 1000% usaha. Rangga adalah awal.  Pemilik Nirmala adalah proses.  dan aku akan menentukan akhirnya. Philip Dormer Stanhope, Earl of Chesterfield once said,   "It's important to have the ability to distinguish between impossible and possible..." melepaskan dan merelakan bukan berarti kegagalan. melepaskan dan merelakan juga bagian dari belajar. keberanian memang dibutuhkan untuk tetap bertahan. hanya orang-orang gigih dan penuh tekad yang mampu bertahan. tapi keberanian juga dibutuhkan ketika merelakan dan bergerak maju.  tidak mudah untuk memutuskan mengambil satu dua langkah ke depan dari tempat awal bertahan. terutama ketika ada begitu banyak perjuangan dan usaha yang dikerahkan untuk sampai di tempat itu. ada kalanya kita harus menyadari kapan waktunya untuk bertahan dan kap...

untuk Dany di surga

ini sudah hampir seminggu setelah kepergianmu... takkan selamanya, tanganku mendekapmu. takkan selamanya, raga ini menjagamu. Seperti alunan detak jantungku, tak bertahan melawan waktu dan semua keindahan yang memudar atau cinta yang telah hilang... lagu ini.. lagu yang dimainin pas Kirana kemaren. Waktu semuanya belum berubah. Waktu aku masih bisa ngeliat kamu ketawa. You’re gone too soon dan... Rest In Peace Dany Candra Kurniawan.  “Mas Dany kecelakaan mbak pulang dari Kirana kemaren. Meninggal.....” DANY? Kamu beneran udah meninggal? Aku nggak percaya. Aku nggak mau percaya. Bilang kalo mereka semua bohong soal kamu Dan! Bilang ke aku itu semua cuma bohong! Kamu masih sehat kan? Kamu besok masuk sekolah kan? Kirana kemaren kamu masih ngobrol sama aku. Kamu masih minta difoto sama aku. Kok secepet ini? Aku nggak percaya. Aku belum mau percaya. Tolong bilang kalo semua ini bohong... Nanti nggak ada yang bilang, “aku kan kereeeen” lagi di kelas. Nggak...

pulang ke rumah

Rumah? Sebenernya apasih yang bisa disebut rumah itu. Bangunan beratap dengan kasur bantal dan guling di dalamnya? Atau apa? Sebenernya apa yang bisa dan layak aku sebut sebagai rumah? Kriteria apa yang memenuhi untuk kemudian bisa disebut rumah. Dan ketika aku bilang, “I wanna go home,” sebenernya ‘home’ seperti apa yang ingin aku tuju? Walaupun aku masih belum mampu menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri, aku rasa tidak semua tempat bisa disebut rumah, dan tidak semua tempat akan terasa seperti rumah. Dan aku pikir, kalian juga setuju. Masafin bilang, aku selalu susah buat diajak kumpul, merapat menuju keramaian dan gelak tawa. Masafin bilang aku ngga pernah berubah. Selalu aja bermasalah setiap ada kumpul-kumpul. Dia bilang aku selalu malas bersosialisasi, aku tidak mau hidup di luar duniaku, aku tidak mau berinteraksi selain dengan duniaku. Aku juga tidak tahu. Tidak tahu mungkin memang bukan jawaban yang diinginkan ketika ada pertanyaan. Tapi sejauh ini, a...